Sabtu, 21 Mei 2016

TANGAN YANG TIDAK TERSENTUH API NERAKA

 

Alkisah, suatu ketika Nabi Muhammad berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Nabi Muhammad melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Nabi kepada Sa’ad.
pekerja-keras“Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Nabi Muhammad. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Nabi pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR. Ath-Thabrani).
Kerja adalah perintah suci Allah kepada manusia. Meskipun akhirat lebih kekal daripada dunia, namun Allah tidak memerintahkan hambanya meninggalkan kerja untuk kebutuhan duniawi. Kerja adalah melakukan sesuatu untuk mencari nafkah yang hakekatnya adalah manifestasi dari amal kebajikan.
thumb_kerja_kerasSebagai sebuah amal, maka NIAT dalam menjalankannya akan menentukan penilaian. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad bersabda, “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niatnya.” Amal seseorang akan dinilai berdasar apa yang diniatkannya.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-Qashash: 77).
Jadi  budaya kerja  yaitu nilai-nilai sosial atau suatu keseluruhan pola perilaku yang berkaitan dengan akal dan budi manusia dalam melakukan suatu pekerjaan. Jadi setiap individu yang bekerja harus memiliki budaya kerja yang baik. Budaya yang kerja yang baik sangat diperluukan agar menjadi pekerja yang berbudi pekerti dan mengerti nilai-nilai yang dijalaninya dan tidak membawa individu kepada penyimpangan. Jadi itulah perlunya kita memahami budaya kerja yang baik.
Budaya kerja masing-masing individu akan menentukan terbentuknya budaya dimana dia bekerja. Tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti kepemimpinan  yang mengandung nilai-nilai agama karena selalu mendahulukan pembinaan terhadap akhlakul karimah, sejak tahap awal perlu dimantapkan sebagai manifestasi utama yang akan terekspresi dalam seremoni dan ritual yang substansinya adalah substansi agamawi  melalui budaya jujur, sabar, tidak mudah iri dan terpancing untuk melakukan hal-hal yang dimurkai agama.
Para pemimpin akan menentukan bahwa bila tahap pertama upaya menyesuaikan diri agar menghasilkan sukses dalam kerjasama yang harmonis.
 Dalam agama Islam, manusia ditentukan untuk : Berusaha   dengan  sebaik-baiknya agar tercapai suatu tujuan  yang halal. Kita mencoba berusaha untuk  menghasilkan prestasi terbaiknya, apalagi bila penerimaan hasil  dilakukan dengan adil dan objektif. Melakukan pekerjaan dengan ikhlas adalah ajaran utama dalam Islam. Usaha yang diupayakan hanya karena Allah semata. Bekerja  dengan  dilandasi keikhlasan, dapat mencegah dari stres atau jenis emosi lain yang merugikan.
Umat dituntut untuk minta tolong pada Allah dan mengakui keterbatasan dirinya. Allah lebih mencintai orang-orang yang selalu meminta daripada yang enggan meminta, karena seolah-olah manusia itu berkecukupan. Dan Allah  berfirman : “Berdoalah kepadaKu, niscaya akan keperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka jahanan dalam keadaan hina dina” (QS. 40:60). Rasullah SAW bersabda : “Sesungguhnya siapa saja yang tidak meminta kepada Allah, maka Allah akan marah kepadanya” (HR. At-Tarmizi dan Abu Hurairoh).
imagesApabila manusia rajin bekerja dan berupaya, ia akan menciptakan budaya kerja yang disiplin, berkemauan keras dan tidak cepat putus asa. Selanjutnya diimbangi dengan  terus menerus berdoa dan meminta tolong kepada Allah, agar usahanya membuahkan hasil. Sifat ini akan membawa manusia ke perilaku rendah hati, tidak takabur dan senantiasa menyadari baik kelemahan maupun kekuatannya.
Demikian saudaraku semua, Agama Islam mengajarkan manusia untuk giat dalam bekerja yang sesuai  syariat yaitu mengedepankan kejujuran, kedisiplinan dan keihklasan. Oleh sebab itu, marilah kita semua bekerja dengan giat  ikhlas serta kerja yang CERDAS (Smart Working) agar kita sukses dunia dan akhirat. Amin yra


SEMOGA BERMANFAAT

AMALAN PARA WALI AUTAD: SHOLAWAT AL HIMAYAH

 

 

===Ya Allah limpahkan sholawat kepada Nabi Muhammad, nabi yang ummi, dan keluarganya serta para sahabatnya kesejahteraannya dengan Sholawat ini Engkau Mengampuni dosa-dosa kami, dosa orang tua kami, dosa orang-orang yang beragama Islam, laki-laki dan perempuan, dan orang mukmin, laki-laki dan perempuan  yang masih hidup maupun yang telah mati dan memperbaiki kepada ulama dan umat serta pemimpin dan rakyat, dan satukanlah hati-hati mereka, dan  menjauhi segala keburukan diantara mereka  dan dari segala yang kami takuti dan kami khawatirkan.===
ALLAHUMMA SHOLLI ALAA SAYIDINAA MUHAMMADIN NABIYYIL UMMI WA ‘ALAA ALIHI WA SHAHBIHI WA SALIM SHALATAN WA AN TAGHFIRALII BIHA WALIWALIDAYYAA WAL MU’MININA WAL MU’MINAT WAL MUSLIMINA WAL MUSLIMAT AL-AHYA’I MINHUM WAL AMWAAT AYNAMAKANU FII JAMI’IL JIHAD WAL BILAD, WA ASHLIH BIHAA AL IMAMA WAL UMMATA WAR RA’IYA WAR RA’IYYATA WA ALLIF BAYNA QULUBIHIM WADFA’ SYARRA BADHIHIM ‘AN BADH WA MIM MA NAKHAFU WA NAHDZAR.
Sholawat ini merupakan amalannya para Wali Abdal, Autad dan Aqthab. Sholawat ini mempunyai banyak faedah, manfaat dan khasiatnya serta keajaiban yang tidak bisa dihitung dan tak terbatas. Diantara keuntungan itu adalah Allah SWT akan melimpahkan  maghfirah-ampunan  dan memperbaiki, melindungi, mendapatkan perlindungan, keamanan, penjagaan dari segala fitnah serta kesulitan yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit, perlindungan dari segala keburukan seperti penyakit dan akibat dari perbuatan buruk yang mengenai fisik dan jiwa, juga mendapatkan keselamatan dari segala urusan lahir dan batin di dalam urusan agama, dunia dan akhirat. Boleh dibaca kapan saja, sebanyak sekali, tiga kali atau tujuh kali, boleh setiap sehabis sholat, setiap pagi dan malam, atau setiap hari


SEMOGA BERMANFAAT

Jumat, 20 Mei 2016

DOA PAGI YANG ISTIMEWA UNTUK KELAPANGAN, KEDALAMAN DAN KELUASAN HIDUP

 

 

kwa hutYa Allah, sebagaimana Engkau bersikap lemah lembut dalam keagungan-Mu melebihi segala yang lemah lembut, dan Engkau Maha Tinggi degan kegungan-Mu atas segala yang agung, dan Engkau Maha Mengetahui apa yang ada di dalam buni-Mu sebagaimana Engkau mengetahui apa yang ada di atas ‘arsy-Mu, dan bisikan hati di sisi-Mu sama seperti ucapan terang-terangan, dan ucapan terang-terangan sama di sisi-Mu dengan bisikan hati, dan tunduklah segala sesuatu kepada keagungan-Mu, dan merendahlah segala yang memiliki kekuasaan kepada kekuasaan-Mu, dan jadilah perkara dunia dan akhirat berada di tangan-Mu, jadikanlah bagiku dari segala keluh-kesah yang menimpaku pada sore / pagi hari kelapangan dan jalan keluar darinya. Ya Allah, sesungguhnya kemaafan-Mu atas dosa-dosaku, dan penghapusan-Mu atas semua kesalahanku, dan penutupan-Mu atas perbuatan burukku, kesemuanya itu mendorongku untuk memohon kepada-Mu apa-apa yang aku tak pantas menerimanya dari apa-apa yang aku teledor padanya, aku memohon kepada-Mu dalam keadaan aman, dan aku meminta kepada-Mu denga keadaan rasa senang hati, sedangkan Engkau adalah selalu berbuat baik kepadaku, dan aku selalu berbuat jahat terhadap diriku sendiri dalam masalah yang menyangkut hubungan aku dengan Engkau, Engkau selalu membuatku menyayangi-Mu dengan senantiasa memberi nikmat-Mu kepadaku meskipun Engkau tidak membutuhkan aku, dan aku selalu membuat-Mu murka dengan bermaksiat kepada-Mu, akan tetapi kepercayaanku kepada-Mu membawaku untuk berani (memohon) kepada-Mu, maka jenguklah aku dengan karunia dan kebaikan-Mu kepadaku, dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat, lagi Maha Penyayang.

َاللَّهُمَّ كَمَا لَطَفْتَ فِيْ عَظَمَتِكَ دُوْنَ اللُّطَفَاءِ، وَعَلَوْتَ بِعَظَمَتِكَ عَلَى الْعُظَمَاءِ، وَعَلِمْتَ مَا تَحْتَ أَرْضِكَ كَعِلْمِكَ بِمَا فَوْقَ عَرْشِكَ، وَكَانَتْ وَسَاوِسُ الصُّدُوْرِ كَالْعَلاَنِيَةِ عِنْدَكَ، وَعَلاَنِيَةُ الْقَوْلِ كَالسِّرِّ فِيْ عِلْمِكَ، وَانْقَادَ كُلُّ شَيْءٍ لِعَظَمَتِكَ وَخَضَعَ كُلُّ ذِيْ سُلْطَانٍ لِسُلْطَانِكَ، وَصَارَ أَمْرُ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ بِيَدِكَ، اِجْعَلْ لِيْ مِنْ كُلِّ هَمٍّ أَمْسَيْتُ / أَصْبَحْتُ[3] فِيْهِ فَرَجًا وَمَخْرَجًا. اَللَّهُمَّ إِنَّ عَفْوَكَ عَنْ ذُنُوْبِيْ، وَتَجَاوُزَكَ عَنْ خَطِيْئَتِيْ، وَسَتْرَكَ عَلَى قَبِيْحِ عَمَلِيْ، أَطْمَعَنِيْ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لاَ أَسْتَوْجِبُهُ مِمَّا قَصَّرْتُ فِيْهِ، أَدْعُوْكَ آمِنًا، وَأَسْأَلُكَ مُسْتَأْنِسًا، وَإِنَّكَ الْمُحْسِنُ إِلَيَّ وَأَنَا الْمُسِيْءُ إِلَى نَفْسِيْ فِيْمَا بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ، تَتَوَدَّدُ إِلَيَّ بِنِعْمَتِكَ مَعَ غِنَاكَ عَنِّيْ، وَأَتَبَغَّضُ إِلَيْكَ بِالْمَعَاصِيْ مَعَ فَقْرِيْ إِلَيْكَ، وَلَكِنِ الثِّقَةُ بِكَ حَمَلَتْنِيْ عَلَى الْجَرَاءَةِ عَلَيْكَ، فَعُدْ بِفَضْلِكَ وَإِحْسَانِكَ عَلَيَّ وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
DOA INI ADALAH DOA NABI KHIDIR AS yang mana siapa yang membaca doa tersebut pagi dan sore maka akan gugurlah dosa-dosanya, dan beroleh kebahagiaannya, dihapuskanlah segala kesalahannya, dikabulkan doanya, diluaskan rezqinya, terkabul segala cita-citanya, ditolong atas segala musuhnya, dan ditulis di sisi Allah sebagai seorang Shiddiq –yang kuat keimanannya, dan tidaklah ia mati kecuali dalam keadaan syahid

SEMOGA BERMANFAAT

DOA BAGI PEGAWAI/KARYAWAN AGAR NAIK PANGKAT DAN NAIK JABATAN

 

Amalan berikut ini untuk anda pegawai/karyawan agar pekerjaan anda tidak sia-sia. Berupa mendapatkan penghargaan dari perusahaan/instansi dimana anda bekerja. Sehingga dengan penghargaan itu anda akan mendapatkan promosi/kenaikan jabatan dari yang sekarang.
Amalan batiniah berupa doa berikut ini monggo diamalkan:
YAA AYYUHAA AL-INSAANU INNAKA KAADIHUN ILAA RABBIKA KADHAN FAMULAAQIIHI   
(Al-Insyiqaaq Ayat : 6)
11 x usai sholat fardhu lima waktu selama 3 hari atau 7 hari atau semampunya. Dimulai dari Sholat subuh.
@CATATAN: Akan lebih bagus kalau sebelum mengamalkan amalan tersebut, terlebih dulu sholat hajat 2 rokaat.
Bekerjalah sesuai dengan syariat/sesuai dengan aturan yang ada di perusahaan. Tekun dan sabar serta pandai-pandailah untuk mengendalikan emosi. Bekerja serius dan hindari menjadi orang yang terkesan ambisius dan hanya mencari nama semata. Jadikan pekerjaan anda sebagai sarana IBADAH dalam arti yang luas. Insya allah keberuntungan menjadi milik Anda. Terima kasih


SEMOGA BERMANFAAT

AMALAN MELEMBUTKAN DAN MENAKLUKKAN HATI YANG KERAS

 

Assalamualaikum wr wb.
Ini adalah amalan untuk menaklukkan/melembutkan hati target agar lebih baik kepada kita. Misalnya bos/juragan/atasan yang semena-mena kepada kita.
caranya:
baca surat al hadiid ayat 17 yang berbunyi:
===i’lamuu anna allaaha yuhyii al-ardha ba’da mawtihaa qad bayyannaa lakumu al-aayaati la’allakum ta’qiluuna===
ARTINYA: Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.
wiridkan/baca sebanyak 1000 x dan tiupkan ke air lalu usahakan agar target meminum air yang anda wiridkan tersebut. (bisa pula air dipercikkan ke jalan yang tiap hari dilaluinya).
Insya Allah hatinya segera lunak dan manut/mengikuti anda. Anda akan disayangi target.
Demikian semoga bermanfaat dan terima kasih.
Wassalamualaikum wr wb


SEMOGA BERMANFAAT

ILMU LEPAS PERKARA

 

 

ilustrasi pengadilanAssalamualaikum wr wb. Berikut ini akan kami bagi ilmu tentang bagaimana kita bisa lepas dari jeratan hukum di pengadilan. Sebab tidak jarang di antara kita harus berhadapan dengan sidang pengadilan akibat perkara baik perdata maupun pidana. Baik yang berat maupun yang ringan misalnya lupa bawa SIM sehingga ditilang pak polisi dan harus sidang di pengadilan. Yah namanya hidup di dunia pasti beraneka rupa masalah mendatangi kita.
Nah berikut ini ilmu agar kita bisa menang di pengadilan (bila perkara yang kita hadapi berselisih dengan pihak lain) dan kita mendapatkan keadilan.
Nah sebelum berangkat ke pengadilan atau berangkat berselisih dengan pihak lain baca doa ini.
Bismillahirrohmanirrohim
SADUK TEGUH ILA LUPUT ILA TIDAK TERASA
ILLALLAH TIDAK APA-APA
BERKAT DOA LA ILAHA ILLALLAH
BERKAT MUHAMMADUR ROSULULLAH
Untuk wirid sehari-hari ketika kita menghadapi persoalan yang berat silahkan baca ASTAGHFIRULLAHALADZIM 1000 x sekali wirid setiap hari. Berapa hari? tergantung pada masalah. Kalau masalah berat bisa diwiridkan lebih lama terserah berapa hari tergantung keikhlasan hati kita.
Demikian ilmu ini semoga ada manfaatnya buat hidup kita sehari-hari. Terima kasih, wassalamualaikum wr wb dan salam paseduluran


SEMOGA BERMANFAAT

IJASAH ILMU URUT PIJAT ANGGOTA TUBUH BAGI TUKANG PIJAT maupun PIJAT TUBUH SENDIRI

 

imagesAssalamualaikum wr wb. Ilmu ini sangat bermanfaat bagi saudara yang berprofesi sebagai tukang pijat dan juga untuk rumah tangga kita sendiri.
ADA BEBERAPA CARA, bisa dipilih salah satu:
CARA 1: baca doa 1 x dan tiupkan ke air segelas lalu air diminumkan orang yang sakit.
CARA 2: baca doa 1 x dan tiupkan ke minyak-minyak urut lalu minyak digunakan untuk URUT anggota tubuh yang sakit.
berikut doanya:
BISMILLAHIRROHMANIRROHIM TAMLIKHA MAKHTLINA MATHLINA MASNUSY DARBAMUSY KAFSYATATIYUSY KATMIR BI ISMI ALAH AR ROHMAN AR ROHIM JANNATUN WALDATUN MARYAMA WA MARYAMU WALADATU ISALARDH TAD’U KA’AKHRUJ AYYUHAL MARDULI BI QUDROTIHI TA’ALA.
++CATATAN: Doa ini bisa digunakan untuk seluruh penyakit yang ada di tubuh seseorang pasien. Misalnya bila sakit itu tergolong sakit kanker/tumor, atau penyakit dalam maka doa dibaca ke segelas air dan diminumkan ke orang sakit. 
Demikian semoga bermanfaat buat kehidupan anda, wassalamualaikum wr wb, salam paseduluran dan terima kasih


SEMOGA BERMANFAAT

Kamis, 19 Mei 2016

MENYATU DAN MANUNGGAL DENGAN ALLAH

 

Ini artikel yang menarik yang aslinya berjudul “Wahdatul wujud: berawal dari maksud Allah untuk dikenal” yang ditulis Majelis zikir al Jabbar Ternate. Monggo dijadikan bahan renungan.
Allah telah menciptakan mahlukNya dengan beberapa tingkatan niat. Mula-mula Allah menciptakan makhluk dengan niat sebagaimana tertuang dalam hadits qudsi: “Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan denganKu mereka mengenalKu.” Allah merupakan Al-Awwal yang tidak diawali, Dia bersifat Ada Sedia (Wujud). Kehendak Allah adalah untuk dikenali (untuk dima’rifati).
“Kesendirian” Allah merupakan kebenaran mutlak yang tak bisa ditolak, karena jika ada sesuatu selain Allah, maka Allah bukanlah Yang Awal. Dalam kitab Daqaaiqul Akhbar disebutkan bahwa sebelum Allah menciptakan para malaikat yang bertugas untuk menyebut dan memuji diriNya, Allah memuji diriNya sendiri yang Maha Indah dan Elok. Allah ingin dikenal, sebagai Yang Maha Esa dan itulah yang menjadi misi setiap nabi yang turun dimuka bumi, yaitumemperkenalkan Allah Yang Maha Esa, misalnya surat Hud ayat 84.
Dengan demikian, mengenal Allah merupakan tugas utama makhluk, terutama manusia. Mengenal Allah lebih signifikan dari pada mengenal hukumhukumNya. Hal ini saya sebutkan karena dengan mengenal Allah maka kitapun segera mengetahui apa yang diinginkanNya dan apa yang tidak diinginkanNya. Mengenal Allah haruslah secara kaffah, secara totalitas. Syeh Siti Jenar mengutamakan hal ini dalam persoalan ibadah, dimana dia menyatakan bahwa ibadah tanpa ma’rifat adalah syirik. Bagaimana bisa anda beribadah kepada Allah dengan niatlillahi ta’ala, sementara anda belum mengenal siapa Allah?
Bahkan jika ditanyakan apakah “Allah” adalah namaNya, bagaimana anda menjelaskannya? Jika anda mengatakan “Ya” maka bagaimana mungkin andamemanggil-manggil namaNya dengan namaNya, sedangkan anda begitu menghormati dosen anda dang memanggilnya dengan “pak” atau “prof.” Ini adalah tanda bahwa anda melakukan ibadah tanpa ma’rifat.
Jika anda bersaksi “Saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah” apakah benar anda menyaksikannya? Atau anda hanya menyebutnya sebagai formalitas masuk Islam saja? Apa benar anda menyaksikan bahwa Allah adalah Esa? Jangan-jangan selama ini kita hanya melakukan persaksian palsu semata. Syeh Siti Jenar  menekankan bahwa bisa jadi kita selama ini menyembah akal budi saja, artinya, pengenalan Tuhan itu tidak bersumber dari kesadaran ruhaniah tetapi karena spekulasi akal budi saja. Ini sangat berbahaya, karena ini sudah termasuk syirik. Yang bisa membawa makhluk (manusia) pada ma’rifatullah secara kaffah adalah dengan melalui pengalaman ruhani, karena Allah tidak akan pernah bisa dikenal dengan logika saja.
Wahdatul Wujud, jangan hanya dipandang dari segi terminologinya saja, menyatunya hamba dengan Tuhan. Lihat makna lebih dalam, hanya dengan “menghilangkan diri” dan segala sesuatu selain Allah barulah kita bisa menggapai ma’rifat. Setelah itu, Allah akan senantiasa berada dalam hati, dan ibadah akan menjadi lebih sejuk. Arti hakiki dari ma’rifat juga bukan sematamata mengenal Allah, tetapi Allah memperkenalkan DiriNya kepada kita, sebagai rahmat, buah dari upaya keras kita melakukan perjalanan menuju dia.
Upaya para sufi adalah untuk bisa mengenal diriNya secara hakiki, bukan hanya hasil pemikiran dan logika saja. Karena secara logika, Allah hanya bisa dikenali perbuatanNya saja, tetapi untuk mengenali secara hakiki, maka kita harus mengenaliNya dari nama, sifat, perbuatan, hingga dzat. Ini memang hanya bisa ditemukan dalam tasawuf, dan ini merupakan hasil perjalanan spiritual dan bukan semata-mata spekulasi filsafat saja.
Untuk bisa ma’rifatullah secara kaffah, seperti yang telah disebutkan, manusia harus mampu “menolak” segala sesuatu selain Allah. Ini hanya bisa dilakukan dengan zuhud, dan kemudian melakukan perjalanan spiritual dengan cara bertarikat. Tarikat maksudnya jalan, dan ibadah merupakan tarikat. Jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Suatu ketika Sayidina Ali bertanya kepada Rasul tentang jalan dekat menuju Allah dan Rasul bersabda “Dzikir.” Ini merupakan landasan sufi untuk bertarikat, yakni dengan melakukan ritual dzikrullah. Mengingat Allah dengan cara khusus, sebagaimana yang Rasulullah lakukan selama berada di Gua Hira atau di kamar khusus yang disebut dengan kamar khalwat; kemudian perjalanan tarikat ini disebut dengan berkhalwat, yakni bersunyi diri untuk berdzikir kepada Allah.
Bagi anda yang suka menafsirkan kalimat sepotong-potong untuk mencari kesalahan orang lain, saya ingatkan, khalwat disini bukan hanya duduk dengan tasbih di tangan, tetapi disertai dengan zuhud, saya sudah menyebutnya di depan. Bersunyi diri agar tidak terganggu, dan para sufi kebanyakan menjauhi keramaian sosial bukan untuk mengisolasi dirim tetapi mengisolasi hati dari segala sesuatu selain Allah. Pada tingkatan tertentu, bahkan diri yang mengingat pun sudah dilupakan, sehingga yang ada hanya yang diingat saja,yakni Allah semata. Mendekat, mendekat, lebih dekat, hingga hakikat melebur; inilah fana’. Apakah selamanya seperti itu? Tidak, pengenalan dan penyatuan itu begitu singkat.
Bagaimana bisa kita tahu bahwa itu Allah? Ini tidak mungkin dijelaskan, karena hanya yang mengalaminya saja yang memahaminya; bisa jadi iblis yang datang? Hakikat iblis tidak setara dengan Allah dan hanya Allah tujuan kita. Dengan demikian, iblis tidak mungkin mampu menembus hijab dzikrullah. Mengapa para sufi tidak dapat menjelaskan hal tersebut secara rinci sehingga dituduh mengada-ngada? Itu karena fana’ diawali dengan lumpuhnya ilmu bahkan diri sendiri. Hanya Nurullah semata yang dapat menjelaskannya kepada anda.
Jika semua yang dipaparkan benar (dan memang benar), maka sungguh celaka tangan-tangan yang menuduh para sufi (waliyullah) sesat, bahkan membunuh mereka, karena yang mereka tuduh dan bunuh adalah para kekasih Allah, para pemegang rahasia ketuhanan terbesar dan terpenting bagi ummat manusia. Alhasil, korupsi kiri-kanan, prostitusi kiri-kanan, intimidasi dan peperangan sana-sini, karena kebenaran sudah diputarbalikkan menjadi kesesatan; manusia tidak lagi menggenggam kebenaran, karena pemegang kebenaran sudah dibunuh, dari karakter hingga jiwa. Mungkin kelak saya juga akan dibunuh karena menganut faham Wihdatul Wujud, Alhamdulillah karena saya juga termasuk daftar orang-orang yang menyampaikan kebenaran tersebut. Wallahu ‘alam bisshawab. Wassalamualaikum wr. wb.


SEMOGA BERMANFAAT

DOA UNTUK DAGANG

 

Jatiraga
Salam rahayu lan sejahtera selalu kagem sedulur ku yang dimulyakan Alloh SWT.
Ijinkan saya alfakir berbagi DOA khusus untuk mereka para pedagang, doa ini merupakan ihtiar bathin saja jadi jgn lupakan syareat dagang yang lainnya supaya toko atw produk terlihat menarik pembeli serta SODAQOH tiap hari, disamping usaha kita ramah pada pembeli.
Bagi sedulur yang mau mengamalkan doa ini mohon ikhlas ridhonya untuk BERKIRIM alfatiha untuk Saya Sekeluarga dan Seluruh Ciptaan Alloh SWT.
Silahkan dibaca dulu sebekum diamalkan :
Sediakan Air Aqua lalu baca niat :
“Bismillahirohmanirohim
Niat isun mengasmak air aqua utk mengundang pembeli supaya daganganku habis laris amin”
Lalu baca doa dagang :
“Allohumma sholli ala muhammad wa ma’alaa tijaarotii wa bidhaa’atii al musy ariina wal mustariyaati bisy-syiroo’i”
Baca 7x  atw 17x Tiup ke air aqua lalu air aqua dipake pel atw siram kedepan dan dalam toko atw buat semprot air ke etalase


SEMOGA BERMANFAAT

ILMU HIKMAH ITU ILMUNYA ULUL ALBAB



“ILMU HIKMAH” ITU TIDAK SAMA DENGAN ILMU KANURAGAN, TIDAK SAMA DENGAN ILMU KESAKTIAN, TIDAK SAMA DENGAN HIZIB DAN WIFIQ MESKIPUN MEREKA BISA JADI BAGIAN DARI ILMU HIKMAH. ILMU HIKMAH ADALAH ILMU YANG MAMPU MENGANTARKAN PEMILIKNYA UNTUK MA’RIFAT. AHLI SHOLAT DAN SENANTIASA BERDZIKIR KEPADA ALAH SWT. KARENA DENGAN ILMU HIKMAH ITU SEORANG HAMBA MAMPU MEMBACA RAHASIA DI BALIK SEMUA YANG ADA ATAS IJIN ALLAH SWT.
Dasar dari Ilmu Hikmah adalah Kitabullah Al Qur’an: “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah, sungguh telah diberi kebajikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali ulul-albab.” (QS. 2:269)
Maka yang bisa memahami ilmu hikmah adalah kaum Ulul-albab. Siapa kaum Ulul-albab?.  Ulul-albab disebut belasan kali dalam Al-Quran. Menurut Al-Quran, ulul-albab adalah kelompok manusia yang diberi keistimewaan oleh Allah swt. Diantara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan dalam arti luas—tidak hanya pengetahuan yang diperoleh dari empiris dan rasio — namun juga pengetahuan yang tercerahkan oleh Nur Ilahiah.
Disebutkan pula dalam Al-Quran bahwa: “Mereka adalah orang yang bisa mengambil pelajaran dari sejarah umat manusia.” (QS. 12:111). Dipelajarinya sejarah berbagai bangsa, kemudian disimpulkannya satu pelajaran yang bermanfaat, yang dapat dijadikan petunjuk dalam mengambil keputusan di dalam kehidupan ini. “Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk dari Allah, dan mereka itulah ulul-albab.” (QS. 3:7)
Ulul-albab lebih luas dari sekedar seorang sarjana S1, S2, S3 maupun kaum cerdik cendekia, ilmuwan dan intelektual bentukan institusi pendidikan. Namun bisa jadi sarjana ilmuwan, intelektual itu adalah ulul albab.  Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah yang ada di masyarakat.
Apa tanda-tanda ulul-albab?  Tanda pertama: Bersungguh-sungguh mencari ilmu, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Dan orang yang bersungguh-sungguh dalam ilmu pengetahuan mengembangkannya dengan seluruh tenganya, sambil berkata: ‘Kami percaya, ini semuanya berasal dari hadirat Tuhan kami,’ dan tidak mendapat peringatan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS.3:7)
Termasuk dalam bersungguh-sungguh mencari ilmu ialah kesenangannya menafakuri ciptaan Allah di langit dan di bumi. Allah menyebutkan tanda ulul-albab ini sebagai berikut: “Sesungguhnya dalam proses penciptaan langit dan bumi, dalam pergiliran siang dan malam, adalah tanda-tanda bagi ulul-albab.” (QS.3:190).
Abdus Salam, seorang Muslim pemenang hadiah Nobel, berkat teori unifikasi gaya yang disusunnya, berkata, “Al-Quran mengajarkan kepada kita dua hal: tafakur dan tasyakur. Tafakur adalah merenungkan ciptaan Allah di langit dan di bumi, kemudian menangkap hukum-hukum yang terdapat di alam semesta. Tafakur inilah yang sekarang disebut sebagai science. Tasyakur ialah memanfaatkan nikmat dan karunia Allah dengan menggunakan akal pikiran, sehingga kenikmatan itu makin bertambah. Ulul-albab merenungkan ciptaan Allah di langit dan bumi, dan berusaha mengembangkan ilmunya sedemikian  rupa, sehingga karunia Allah ini dilipatgandakan nikmatnya.”
Tanda kedua: Mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian ia pilih yang baik, walaupun ia harus sendirian mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang. Allah berfirman: “Katakanlah, tidak sama kejelekan dan kebaikan, walaupun banyaknya kejelekan itu mencengangkan engkau. Maka takutlah kepada Allah, hai ulul-albab.” (QS.5:100)
Tanda ketiga: Kritis dalam mendengarkan pembicaraan, pandai menimbang-nimbang ucapan, teori, proposisi atau dalil yang dikemukakan oleh orang lain: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk dan mereka itulah ulul-albab.” (QS.39:18)
Tanda keempat: Bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya; diperingatkannya mereka kalau terjadi ketimpangan, dan diprotesnya kalau terdapat ketidakadilan. Dia tidak duduk berpangku tangan di labolatorium; dia tidak senang hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan; dia tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memperbaiki ketidakberesan di tengah-tengah masyarakat…: “(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasannya Dia adalah Tuhan Yang Maha esa dan agar ulul-albab mengambil pelajaran.” (QS.14:52)
“Hanyalah ulul-albab yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan Supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan salat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. 13:19-22)
Tanda kelima: Tidak takut kepada siapa pun kecuali kepada Allah. Berkali-kali Al-Quran menyebutkan bahwa ulul-albab hanya takut kepada Allah: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai ulul-albab.” (QS 2:197)
“Maka bertakwalah kepada  Allah hai ulul-albab, agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS 5:179) “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah hai ulul-albab.” (QS. 65:10)
Seorang ulul-albab bersungguh-sungguh mempelajari ilmu, mau mempertahankan keyakinannya, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya. Dalam ayat lain, Allah swt dengan jelas membedakan seorang ulul-albab dengan kaum intelektual: “Apakah orang yang bangun di tengah malam, lalu bersujud dan berdiri karena takut menghadapi hari akhirat, dan mengharapkan rahmat Tuhannya: samakah orang yang berilmu seperti itu dengan orang-orang yang tidak berilmu dan tidak memperoleh perinagtan seperti itu kecuali ulul-albab.” (QS. 39:9)
Dengan merujuk kepada firman Allah di atas, inilah “tanda khas” yang membedakan ulul-albab dengan ilmuwan atau intelektual lainnya. Ulul-albab rajin bangun tengah malam untuk bersujud dan rukuk di hadapan Allah. Dia merintih pada waktu dini hari, mengajukan segala derita dan segala permohonan ampunan kepada Allah Swt, semata-mata hanya mengharapkan rahmat-Nya.
Tanda khas yang lain disebutkan dalam Al-Quran: “Dia zikir kepada Allah dalam keadaan berdiri, dalam keadaan duduk, dan keadaan berbaring.” (QS 3:191)
Maka dapat disimpulkan dalam diri ulul-albab berpadu sifat-sifat ingin tahu dan dengan demikian dia gemar belajar dan meneliti untuk melahirkan solusi agar kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia menjadi semakin Islami dalam pandangan Allah SWT

SEMOGA BERMANFAAT

KISAH SUFI DZUN NUN AL MISHRI

 

Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di kota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M. Banyak guru-guru yang telah diikuti Dzun Nun dan banyak pengembaraan yang telah dilakukannya di negeri Arab dan Syria. Pada tahun 214 H/829 M, Dzun Nun ditangkap dengan tuduhan bid’ah dan dikirim ke kota Baghdad untuk dipenjarakan di sana. Setelah diadili, khalifah memerintahkan agar ia dibebaskan dan dikembalikan ke Kairo. Di kota ini ia meninggal tahun 246 H/861 M. Kuburan Dzun Nun sampai kini masih terpelihara dengan baik. Secara legendaris ia dianggap sebagai seorang ahli al-kimia yang mempunyai kekuatan-kekuatan ghaib dan telah mengetahui rahasia tulisan Hiroglif Mesir. Serangkaian syair dan risalat diduga sebagai karya-karyanya, tetapi kebanyakannya masih diragukan.

KISAH PERTAUBATANNYA

Mengenai pertaubatan Dzun Nun si orang Mesir dikisahkannya sebagai berikut:
Suatu hari aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam seorang pertapa. Maka pergilah aku ke pertapaan itu. Sesampainya di sana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya sendiri:
“Wahai tubuh, bantulah aku dalam mentaati perintah Allah. Kalau tidak, akan kubiarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati kelaparan”.
Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanya lah ia:
“Siapakah itu yang telah menaruh belaskasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?”
Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya: “Mengapakah engkau berbuat seperti ini?”
“Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk mentaati perintah Allah”, jawabnya. “Tubuhku ini ingin bercengkerama dengan manusia-manusia lain”.
Tadi aku mengira bahwa ia telah menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu.
Si pertapa melanjutkan: “Tidakkah engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka segala sesuatu dapat terjadi?”
“Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!” kataku kepadanya.
“Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih daripadaku?”, tanyanya kepadaku. “Ya”, jawabku.
“Pergilah ke gunung yang berada di sana itu. Di situlah engkau akan menemuinya”, si pertapa menjelaskan.
Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukkannya. Di sana kujumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terkutung putus dan dilemparkan ke luar, cacing-cacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian kutanyakan perihal dirinya.
Si pertapa berkisah kepadaku: “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruang pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan: ‘Setelah mengabdi dan mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti syaitan dan mengejar seorang wanita lacur?’. Karena menyesal kupotonglah kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? “Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini”.
Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.
Seseorang mengisahkan kepadaku: “Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si pertapa kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya”.
Segala sesuatu yang telah kusaksikan dan segala kisah yang telah kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barangsiapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah akan memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di dalam perjalanan menuruni gunung itu aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati: “Dari manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?”
Seketika itu juga si burung melompat turun. Dengan mematuk-matukkan paruhnya, dicungkilnya tanah dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan penuh biji gandum, sedang yang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran meyaksikan keanehan tersebut. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa-raganya dan benar-benar bertaubat kepada Allah.
Setelah beberapa lama berjalan, Dzun Nun dan para sahabatnya sampai di sebuah padang pasir. EH sana mereka menemukan sebuah guci berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi-bagi emas dan permata-permata
tersebut di antara sesama mereka sedang Dzun Nun hanya meminta: “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama Sahabatku itu!”.
Papan itu diterimanya, siang malam diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya: “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih nama-Ku yang lebih berharga daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku bukakan untukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan!”
Setelah itu Dzun Nun kembali ke kota. Kisahnya berlanjut pula sebagai berikut ini.
Suatu hari aku berjalan-jalan sampai ke tepian sebuah sungai, di situ kulihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang ke loteng villa itu. Di atas balkon sedang berdiri seorang dara jelita. Karena ingin mempertegasnya aku pun bertanya: “Upik, siapakah engkau ini?”
Si dara menjawab: “Dzun Nun, dari kejauhan kukira engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan ketika sudah dekat kukira engkau seorang mistikus. Tetapi kini jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang mistikus.”
Aku bertanya: “Mengapakah engkau berkata demikian?”
Si dara menjawab: “Seandainya engkau gila, niscaya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya engkau tidak memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikis pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain dari Allah”.
Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia .telah diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar hatiku. Maka aku teruskan pengembaraanku ke arah pantai.
Sesampainya di pantai, aku melihat orang-orang sedang naik ke atas sebuah kapal. Akupun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu, seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka menyiksa dan memperlakukan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu. Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru:
“Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu!” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala ke atas permukaan air dan masing-masing membawa sebuah permata di mulutnya.
Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas kapal berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki Dzun Nun (“Manusia Ikan”).

DZUN NUN DITANGKAP

Dzun Nun telah mencapai tingkat keluhuran yang tinggi tetapi tak seorang pun menyadari ini. Orang-orang di negeri Mesir bahkan sepakat mencap dirinya bid’ah dan melaporkan segala perbuatannya kepada khalifah al-Mutawakkil. Mutawakkil segera mengirim para perwiranya untuk membawa Dzun Nun ke kota Baghdad. Ketika memasuki istana khalifah, Dzun Nun berkata: “Baru saja kupelajari Islam yang sebenarnya dari seorang wanita tua dan sikap satria tulen dari seorang kuli pemikul air”.
“Bagaimana?”, tanya mereka kepadanya.
Dzun Nun menjawab: “Sesampainya di istana khalifah dan menyaksikan kemegahan istana dengan para pengurus dan pelayan yang hilir mudik di koridor-koridornya, aku berpikir alangkah baik-nya seandainya terjadi sedikit perubahan pada wajahku ini. Tiba-tiba seorang wanita tua dengan sebuah tongkat di tangannya menghampiriku. Sambil menatapku dengan tajam ia berkata kepadaku: ‘Jangan engkau takuti jasad-jasad yang akan engkau hadapi, karena mereka dan engkau adalah sama-sama hamba Allah Yang Maha Besar. Kecuali apabila dikehendaki Allah, mereka tidak dapat berbuat sesuatu pun terhadapmu”.
“Di tengah perjalanan tadi aku bertemu dengan seorang pemikul air. Aku diberinya seteguk air yang menyegarkan. Kepada seorang teman yang menyertaiku aku memberi isyarat agar ia memberikan sekeping uang dinar kepadanya. Tetapi si pemikul air menolak, tidak mau menerima uang itu dan berkata kepadaku: ‘Engkau adalah seorang yang terpenjara dan terbelenggu. Bukanlah suatu kekesatriaan yang sejati apabila menerima sesuatu dari seseorang yang terpenjara seperti engkau ini, seorang asing yang sedang terbelenggu’ “.
Setelah itu diperintahkan supaya Dzun Nun dijebloskan ke dalam penjara. Empat puluh hari empat puluh malam lamanya ia mendekam dalam kurungan itu. Setiap hari saudara perempuannya mengantarkan sekerat roti yang telah dibelinya dengan upah dari pekerjaan memintal benang. Ketika Dzun Nun dibebaskan, ditemu-kan empat puluh potong roti di kamar kurungannya dan tak satu pun di antara roti-roti itu yang telah disentuhnya. Ketika saudara perempuan Dzun Nun mendengar hal ini, ia menjadi sangat sedih.
“Engkau tahu bahwa roti-roti itu adalah halal dan tidak kuperoleh dengan jalan meminta-minta. Mengapa engkau tidak mau memakan roti-roti pemberianku itu?”
“Karena pinggannya tidak bersih”, jawab Dzun Nun. Yang dimaksudkannya dalah bahwa pinggan tersebut telah terpegang oleh penjaga penjara.
Ketika keluar dari penjara itu, Dzun Nun tergelincir dan dahinya terluka. Diriwayatkan bahwa lukanya itu banyak mengeluarkan darah tetapi tak setetes pun yang mengotori muka, rambut maupun pakaiannya. Setiap tetes darah yang terjatuh ke tanah, seketika itu juga lenyap dengan izin Allah.
Kemudian Dzun Nun dibawa menghadap khalifah. Ia diharuskan menjawab tuduhan-tuduhan yang memberatkan dirinya. Maka dijelaskannyalah doktrin-doktrinnya sedemikian rupa sehingga Mutawakkil menangis tersedu-sedu sedang menteri-menterinya terpesona mendengar kefasihan Dzun Nun. Khalifah menganugerahinya dengan kehormatan yang besar.

DZUN NUN DAN SEORANG MURID

Dzun Nun mempunyai seorang murid yang telah bertapa selama empat puluh kali, masing-masing selama empat puluh hari. Empat puluh kali ia telah berdiri di Padang Arafah dan selama empat puluh tahun ia telah mengendalikan hawa nafsunya. Suatu hari si murid datang menghadap Dzun Nun dan berkata:
“Semua itu telah kulakukan. Tetapi untuk semua jerih payahku Sang Sahabat tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun dan tidak pernah memandang diriku. Dia tidak memperdulikanku dan tak mau memperlihatkan keghaiban-keghaiban-Nya padaku. Semua itu kukatakan bukan untuk memuji diriku sendiri, aku semata-mata menyatakan hai yang sebenarnya. Aku telah melakukan segala sesuatu yang dapat dilakukan oleh diriku yang malang ini. Aku tidak mengeluh kepada Allah. Aku hanya menyatakan hai yang sebenarnya bahwa aku telah mengabdikan jiwa ragaku untuk berbakti kepada-Nya. Aku hanya menyampaikan kisah sedih dari nasibku yang malang ini, kisah ketidakberuntungan diriku ini. Semua itu kukemukakan bukan karena hatiku telah jemu untuk mematuhi Allah. Aku kuatir jika masa-masa mendatang aku mengalamt hai yang sama. Seumur hidup aku telah mengetuk dengan penuh harap, namun tak ada jawaban. Sangat berat bagiku untuk lebih lama menanggungkan. Karena engkau adalah tabib bagi orang-orang yang sedang berduka dan penasehat tertinggi bagi orang-orang suci, sembuhkanlah duka citaku ini”.
“Malam ini niakanlah dengan sepuas-puasnya”, kata Dzun Nun menasehati “Tinggalkanlah shalat ‘Isa dan tidurlah dengan nyenyak sepanjang malam. Dengan demikian jika Sang Sahabat selama ini tidak memperlihatkan diri-Nya dengan kebajikan, maka se tidak-tidaknya Dia akan memperlihatkan diri-Nya dengan penyesalan terhadapmu. Jika selama ini Dia tidak mau memandangmu dengan kasih sayang maka Dia akan memandangmu dengan kemurkaan”.
Si murid pun pergi dan pada malam itu ia makan dengan sepuas-puasnya. Tetapi untuk melalaikan shalat ‘Isa hatinya tidak mengizinkan. Ia tetap melakukan shalat dan setelah itu ia pun tidur. Malam itu di dalam mimpinya ia bertemu dengan Nabi dan berkata kepadanya:
“Sahabatmu mengucapkan salam kepadamu. Dia berkata: ‘Hanya seorang malang yang lemah serta bukan manusia sejatilah yang datang ke hadirat-Ku dan cepat merasa puas. Inti permasalahan adalah hidup lurus tanpa keluhan’. Allah Yang Maha Besar menyatakan: ‘Telah Kuberikan empat puluh tahun keinginan kepada hatimu dan Aku jamin bahwa engkau akan memperoleh segala sesuatu yang engkau harapkan dan memenuhi segala keinginanmu itu. Tetapi sampaikan pula salam-Ku kepada Dzun Nun, si manusia bajingan dan suka berpura-pura itu. Katakanlah kepadanya. wahai manusia pen-dusta yang suka berpura-pura, jika tidak Aku bukakan malumu kepasa seluruh penduduk kota, maka Aku bukanlah Tuhanmu. Awas, janganlah engkau sesatkan kekasih-kekasihku yang malang dan janganlah engkau jauhkan mereka dari hadirat-Ku”.
Si murid terjaga dari tidurnya lalu menangis. Kemudian ia pergi kepada Dzun Nun dan mengisahkan segala sesuatu yang disaksikan dan didengarnya dalam mimpi itu. Ketika Dzun Nun mendengar kata-kata ‘Tuhan mengirim salam dan menyatakan bahwa engkau adalah seorang pendusta yang suka berpura-pura’, ia pun berguling-guling kegirangan dan menangis penuh kebahagiaan.

KISAH-KISAH DZUN NUN

Dzun Nun mengisahkan: Ketika aku sedang berjalan-jalan di gunung, terlihat olehku sekumpulan orang-orang yang menderita sakit. Aku bertanya kepada mereka: “Apakah yang telah terjadi terhadap kalian?”
Mereka menjawab: “Di dalam pertapaan yang terletak di tempat ini berdiam seorang yang saleh. Setahun sekali ia keluar dari pertapaannya, meniup orang-orang ini lalu semuanya sembuh. Setelah itu ia pun kembali ke dalam pertapaannya dan setahun kemudian barulah ia keluar lagi”.
Dengan sabar aku menantikan si pertapa itu ke luar dari dalam pertapaannya. Ternyata yang kusaksikan adalah seorang lelaki ber-wajah pucat, berbadan kurus dan bermata cekung. Tubuhku gemetar karena kagum memandang dirinya. Dengan penuh kasih si pertapa memandangi orang banyak itu, kemudian menengadahkan pandangannya ke atas. Setelah itu semua orang-orang yang menderita sakit itu ditiupnya beberapa kali. Dan semuanya sembuh dari penyakitnya.
Ketika si pertapa hendak kembali ke dalam pertapaannya, aku segera meraih pakaiannya dan berseru:
“Demi kasih Allah engkau telah menyembuhkan penyakit-penyakit lahiriah, tetapi sembuhkanlah sekarang penyakit di dalam batinku ini”.
Sambil memandang diriku si pertapa berkata:
“Dzun Nun lepaskanlah tanganmu dariku. Sang Sahabat sedang mengawasi dari puncak kebesaran dan keagungan. Jika Dia lihat berapa engkau bergantung kepada seseorang selain daripada-Nya, pasti Dia akan meninggalkan dirimu bersama orang itu maka celakalah engkau di tangan orang itu”.
Setelah berkata demikian ia pun kembali ke dalam pertapaannya.
ooo
Suatu hari sahabat-sahabatnya mendapati Dzun Nun sedang menangis.
“Mengapa engkau menangis?”, tanya mereka.
“Kemarin malam ketika bersujud di dalam shalat, mataku tertutup dan aku pun tertidur. Terlihat olehku Allah dan Dia berkata kepadaku: ‘Wahai Abul Faiz, Aku telah menciptakan semua makhluk terbagi dalam sepuluh kelompok. Kepada mereka aku berikan harta kekayaan dunia. Semuanya berpaling kepada kekayaan dunia kecuali satu kelompok. Kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka Aku berikan surga. Semuanya berpaling kepada surga kecuali satu kelompok. Kemudian kelompok ini terbagi pula menjadi sepuluh kelompok. Kepada mereka aku tonjukkan neraka. Semua lari menghindar kecuali satu kelompok yaitu orang-orang yang tidak tergoda oleh harta kekayaan dunia, tidak mendambakan surga dan tak takut pada neraka. Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki?’ Semuanya menengadahkan kepalanya sambil berseru: “Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa yang kami kehendaki!”.
ooo
Pada suatu hari seorang anak lelaki menghampiri Dzun Nun lalu berkata: “Aku mempunyai uang seribu dinar. Aku ingin menyumbangkan uang ini untuk kebaktianmu kepada Allah. Aku ingin agar uangku ini dapat digunakan oleh murid-muridmu dan para guru sufi”.
“Apakah engkau sudah cukup umur?”, tanya Dzun Nun. “Belum”, jawab anak itu.
“Jika demikian engkau belum berhak untuk mengeluarkan uang tersebut. Bersabarlah hingga engkau cukup dewasa”, Dzun Nun menjelaskan.
Setelah dewasa, anak itu kembali menemui Dzun Nun. Dengan pertolongan Dzun Nun ia bertaubat kepada Allah dan semua uang dinar emas itu diberikannya untuk para guru sufi, sahabat-sahabat Dzun Nun.
Suatu ketika para guru sufi itu mengalami kesulitan sedang mereka tak memiliki apa-apa lagi karena uang telah habis dipergunakan.
Anak lelaki yang telah menyumbangkan uangnya itu berkata: “Sayang sekali, aku tak mempunyai uang seratus ribu dinar lagi untuk membantu manusia-manusia berbudi ini”. Kata-kata ini terdengar oleh Dzun Nun, maka sadarlah ia bahwa anak tersebut belum menyelami kebenaran sejati dari kehidupan rrristik karena kekayaan dunia masih penting dalam pandangannya. Anak itu dipanggil Dzun Nun dan berkata kepadanya:
“Pergilah ke tabib Anu, katakan padanya bahwa aku menyuruh dia untuk menyerahkan obat seharga tiga ribu dirham kepadamu”.
Si pemuda segera pergi ke tabib itu dan tak lama kemudian ia telah kembali lagi.
“Masukkanlah obat-obat itu ke dalam lumpang dan tumbuklah sampai lumat”, Dzun Nun menyuruh si pemuda.. “Kemudian tuangkanlah sedikit minyak sehingga obat-obat itu berbentuk pasta. Kemudian kepal-kepallah ramuan itu menjadi tiga buah butiran, dan dengan sebuah jarum lobangilah ketiga-tiganya. Setelah itu bawalah ketiga butirnya kepadaku”.
Si pemuda melaksanakan seperti yang diperintahkan kepadanya. Setelah selesai, ketiga butiran itu dibawanya kepada Dzun Nun. Butir-butir tersebut diusap-usap oleh Dzun Nun kemudian ditiupnya, tiba-tiba butir-butir itu berubah menjadi tiga buah batu mirah delima dari jenis yang belum pernah disaksikan manusia. Kemudian Dzun Nun berkata kepada si pemuda:
“Bawalah permata-permata ini ke pasar dan tanyakanlah harga-nya, tetapi jangan engkau jual”.
Si pemuda membawa batu-batu permata itu ke pasar. Ternyata setiap butirnya berharga seribu dinar. Si pemuda kembali untuk mengabarkan hai ini kepada Dzun Nun. Dzun Nun berkata: “Sekarang masukkanlah permata-permata itu ke dalam lesung, tumbuklah sampai halus dan setelah itu lemparkanlah ke dalam air”.
Si pemuda melakukan seperti yang disuruhkan, melemparkan tumbukan permata itu ke dalam air. Setelah itu Dzun Nun berkata kepadanya: “Anakku, para guru sufi itu bukan lapar karena kekurangan. Semua ini adalah kemauan mereka sendiri”.
Si pemuda bertaubat lalu jiwanya terjaga. Dunia ini tak berharga lagi dalam pandangannya.
ooo
Dzun Nun berkisah sebagai berikut:
Selama tiga puluh tahun aku mengajak manusia untuk bertaubat, tetapi hanya seorang yang telah menghampiri Allah dengan segala kepatuhan. Beginilah peristiwanya:
Pada suatu hari sewaktu aku berada di ‘pintu sebuah masjid, seorang pangeran beserta para pehgiringnya lewat di depanku. Kuucapkan kata-kata: “Tak ada yang lebih bodoh daripada si lemah yang bergulat me la wan si kuat”.
Si pangeran bertanya kepadaku: “Apakah makna kata-katamu itu?”
“Manusia adalah makhluk yang lemah, tetapi ia bergulat melawan Allah Yang Maha Kuat”, jawabku.
Wajah si pangeran remaja itu berubah pucat. Ia bangkit lalu meninggalkan tempat itu. Keesokan harinya ia kembali menemuiku dan bertanya: “Manakah jalan menuju Allah?”
“Ada jalan yang kecil dan ada jalan yang besar, yang manakah yang engkau sukai?. Jika engkau menghendaki jalan yang kecil, tinggalkanlah dunia dan hawa nafsu, setelah itu jangan berbuat dosa lagi. Jika engkau menghendaki jalan yang besar, tinggalkanlah segala sesuatu kecuali Allah lalu kosongkanlah hatimu”.
“Demi Allah akan kupilih jalan yang besar”, jawab si pangeran.
Esoknya ia mengenakan jubah yang terbuat dari bulu domba dan mengambil jalan mistik. Di kemudian hari ia menjadi seorang manusia suci.
ooo
Kisah berikut ini diriwayatkan oleh Abu Ja’far yang bermata satu.
Aku bersama Dzun Nun dengan sekelompok murid-muridnya berada di suatu tempat. Mereka sedang membicarakan bahwa sesungguhnya manusia dapat memerintah benda-benda mati,
“Inilah sebuah contoh”, kata Dzun Nun, “bahwa benda-benda mati mematuhi perintah-perintah manusia-manusia suci. Jika kukatakan kepada sofa itu ‘menarilah mengelilingi rumah ini maka ia pun menari”.
“Belum lagi Dzun Nun selesai dengan kata-katanya, sofa itu mulai bergerak kemudian mengelilingi rumah lalu membalik ke tempatnya semula. Seorang pemuda yang menyaksikan peristiwa ini tidak dapat menahan ledakan tangisnya dan tak berapa lama kemudian menemui ajalnya. Mereka memandikan mayat si pemuda di atas sofa itu kemudian menguburkannya.
ooo
Pada suatu ketika seorang lelaki datang kepada Dzun Nun dan berkata:
“Aku mempunyai hutang tetapi aku tidak mempunyai uang” untuk melunasinya”,
Dzun Nun memurigut sebuah batu. Batu itu berubah menjadi zamrud. Dzun Nun menyerahkannya kepada lelaki itu. Ia membawa-nya ke pasar dan menjualnya dengan harga empat ratus dirham kemudian ia melunasi hutangnya.
ooo
Ada seorang pemuda yang seringkali mencemoohkan kaum sufi. Suatu hari Dzun Nun melepaskan cincin di jarinya kemudian memberikan cincin itu kepada si pemuda sambil berkata:
“Bawalah cincin ini ke pasar dan gadaikanlah dengan harga satu dinar”.
Si pemuda membawa cincin itu ke pasar tetapi tak seorang pun mau menerimanya dengan harga di atas satu dirham. Si pemuda kembali dan menyampaikan hal itu kepada Dzun Nun.
“Sekarang bawalah cincin ini kepada pedagang permata dan t any akan harganya”, Dzun Nun berkata kepada si pemuda.
Ternyata pedagang-pedagang permata menaksir harga cincin itu seribu dinar. Ketika si pemuda kembali, Dzun Nun berkata kepadanya:
“Engkau hanya mengetahui kaum sufi seperti pemilik-pemilik warung di pasar tadi mengetahui harga cincin ini”.
Si pemuda bertaubat dan ia tak mau lagi mencemooh para sufi.
ooo
Telah sepuluh tahun lamanya Dzun Nun ingin memakan Sekbaj, tetapi keinginan itu tak pernah dilampiaskannya. Kebetulan esok hari adalah hari raya dan batinnya berkata: “Bagaimana jika esok engkau memberi kami sesuap sekbaj sekedar untuk menyambut hari raya?”
“Wahai hatiku, jika demikian yang engkau kehendaki, maka biarkanlah aku membaca seluruh ayat al-Qur’an di dalam shalat sunnat dua raka’at malam nanti”.
Hatinya mengizinkan. Keesokan harinya Dzun Nun mempersiapkan sekbaj di depannya. Ia telah membasuh tangan tetapi sekbaj itu tidak disentuhnya; ia segera melakukan shalat.
“Apakah yang telah terjadi?”, seseorang yang menyaksikan hal itu bertanya kepada Dzun Nun.
“Barusan, hatiku berkata kepadaku”, jawab Dzun Nun. ‘Akhirnya setelah sepuluh tahun lamanya barulah tercapai keinginanku!’, tetapi segera kujawab: ‘Demi Allah, keinginanmu tidak akan tercapai’ “.
Yang meriwayatkan kisah ini me ny at akan bahwa begitu Dzun Nun mengucapkan kata-kata itu, masuklah seorang yang membawakan semangkuk sekbaj ke hadapannya dan berkata:
“Guru, aku tidak datang kemari atas kehendakku sendiri, tetapi sebagai utusan. Baiklah kujelaskan duduk persoalannya kepadamu. Aku mencari nafkah sebagai seorang kuli padahal aku mempunyai beberapa orang anak, Telah beberapa lamanya mereka meminta sekbaj dan untuk itu aku telah menabung uang. Kemarin malam kubuatkan sekbaj ini untuk menyambut hari raya. Tadi aku bermimpi melihat wajah Rasulullah yang cerah menerangi bumi. Rasulullah berkata kepadaku: ‘Jika engkau ingin me lihat ku di hari berbangkit nanti, bawalah sekbaj itu kepada Dzun Nun dan katakan kepadanya bahwa Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muththalib telah memohon ampun untuk dirinya agar ia untuk sementara dapat berdamai dengan hatinya dan memakan sekbaj ini dengan sekedarnya”.
“Aku taati”, sahut Dzun Nun sambil menangis.
ooo
Ketika Dzun Nun terbaring menunggu ajalnya, sahabat-sahabatnya bertanya:
“Apakah yang engkau inginkan pada saat ini?”
Dzun Nun menjawab: “Keinginanku adalah walau untuk sesaat saja, aku dapat mengenal-Nya”. Kemudian Dzun bersyair:
Takut telah meletihkan diriku,
Hasyrat telah membakar diriku,
Cinta telah memperdayakanku,
Tetapi Allah telah menghidupkan aku kembali.
Pada suatu hari “ketika Dzun Nun tidak sadarkan diri. Pada malam kematiannya, tujun puluh orang telah bertemu dengan Nabi Muhammad di dalam mimpi mereka. Semuanya mengisahkari bahwa di dalam mimpi itu Nabi berkata: “Sahabat Allah sudah tiba. Aku datang untuk menyambut kedatangannya”.
Ketika Dzun Nun meninggal dunia, orang-orang menyaksikan tulisan berwarna hijau di dahinya: “Inilah sahabat Allah. Ia mati di dalam kasih Allah. Inilah manusia yang telah dijagal Allah dengan pedang-Nya”.
Ketika orang-orang mengusung mayatnya ke pemakaman, matahari sedang bersinar dengan sangat teriknya. Burung-burung turun dari angkasa dan dengan sayap-sayap mereka meneduhi peti mati Dzun Nun sejak dari rumah sampai ke pemakaman. Ketika mayatnya diusung itu seorang muadzin menyerukan adzan. Sewaktu si muadzin mengucapkan kata-kata syahadah, dari balik kain kafan terlihat jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas.
“Ia masih hidup!”, orang-orang berseru kaget.
Mereka menurunkan usungan itu. Memang jari tangan Dzun Nun mengacung ke atas, tetapi ia telah mati. Betapa pun mereka mencoba namun mereka tak dapat membenarkan jarinya yang mengacung itu. Ketika orang-orang Mesir mendengar hal ini, mereka semua merasa malu dan bertaubat dari kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan terhadap Dzun Nun. Sebagai tanda penyesalan, di atas kuburan Dzun Nun telah mereka lakukan berbagai hal yang tak dapat diterangkan dengan kata-kata


SEMOGA BERMANFAAT

KEKUATAN ENERGI KEHADIRAN ILAHI DI DALAM HATI ( HUDHUR AL-QALB )

 

Bagaimana supaya hati punya KEKUATAN? Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa KEKUATAN yang sejati dalam diri manusia itu tiada lain adalah dengan cara mengingat Allah SWT. Untuk mengingat Allah, bisa kita latih dengan mengulang-ulang kalimat doa di dalam hati dan boleh juga (tidak selalu harus) diucapkan melalui mulut.
Dari sudut pandang lain, Kasih sayang dan rahmat-Nya diatas ancaman dan siksa-Nya. Kalau kita berniat mendekati  Allah, maka Allah akan menyongsong dekati kita jauh sebelum niat kita terlahirkan. Kalau kita berniat punya kekuatan yang tak terbatas maka caranya adalah PASRAH pada ALLAH sehingga DIA akan memberikan kekuatan NYA berlipat-lipat yang tidak pernah kita duga sangka sebelumnya.
Berikut doa yang biasanya dizikirkan dalam hati di setiap saat, dengan jumlah seikhlasnya agar bisa membantu kita untuk merasakan ‘HUDUR’ (kebersamaan bersama ALLAH) juga merasakan ‘dekat dan diperhatikan Allah SWT. Doa itu adalah:
ALLAH HADIRI — Allah hadir bersamaku
ALLAH SYAHIDI — Allah menyaksikanku
ALLAH MA’I — Allah bersamaku
ALLAH NADHIRUN ILAYYA — Allah selalu melihatku
ALLAH QARIBUN MINNI — Allah dekat denganku
Ada ulama yang menganjurkan dibaca sebelum tidur sebanyak 11 kali.  Ulama Syaikh Umar Al-Faruqi  kepada keponakannya berpesan agar menanamkan dalam jiwanya kalimat Allahu Ma’i , Allahu Syahidi, Allahu Nadirun Ilayya.
Hakekatnya, dengan memahami makna yang terkandung dalam kalimat-kalimat tersebut, maka kita akan merasa malu untuk bermaksiat kepada Allah. Karena setiap gerak-gerik kita akan selalu terpantau oleh Allah.
Dengan demikian, hal itu bisa menghantarkan kita menjadi kaum muslimin sebagaimana yang Allah kehendaki dan ridhoi yang termaktub dalam Al-Qur’an: Kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi ta’muruna bil makruf, watanhauna ‘anil munkar.
Seorang ulama terkemuka, Imam Sahl bin Abdullah Al-Tastari menuturkan kisah dirinya ketika berumur tiga tahun saat ikut pamannya yang bernama Muhammad bin Sanwar yang rajin untuk melakukan sholat malam.
Suatu hari, paman berkata kepadaku: “Apakah kau mengingat Allah, yang menciptakanmu?
Aku menjawab: “Bagaimana caranya aku mengingat-Nya?”
Beliau menjawab: “Anakku, jika berganti pakaian dan ketika hendak tidur, katakanlah tiga kali dalam hatimu, tanpa menggerakkan lisanmu:  “Allahu Ma’i, Allahu Naadhiri, Allahu Syahidi” (Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikan aku!).
Aku menghafalkan kalimat itu, lalu mengucapkannya bermalam-malam. kemudian aku menceritakan hal ini kepada paman. Pamanku berkata: “Mulai sekarang, ucapkan zikir itu sepuluh kali setiap malam”.  Aku melakukannya, aku resapi maknanya, dan aku merasakan ada kenikmatan dalam hatiku. Pikiran terasa terang, aku merasa senantiasa bersama Allah SWT.
Satu tahun setelah itu, paman berkata: “jagalah apa yang aku ajarkan kepadamu, dan langgengkanlah sampai kau masuk kubur. Zikir itu akan bermanfaat bagimu di dunia dan di akhirat.” Pamanku melanjutkan nasehatnya: “hai Sahl, orang yang merasa selalu disertai dan dilihat Allah, dan disaksikan Allah, akankah dia melakukan maksiat?’
Kalimat Allahu ma’i, Allahu naadhiri, Allahu syahidi terkenal dikalangan ulama arif billah. Bahkan Syeikh Al-Azhar, Imam Abdul Halim Mahmud, yang terkenal dengan ulama arif billah menganjurkan kepada kaum muslimin untuk menancapakan kalimat ini didalam hati. Maknanya yang dahsyat, jika dihayati dengan sungguh-sungguh, akan mendatangkan rasa ma’iyatullah (selalu merasa disertai, dilihat, dan disaksikan oleh Allah Swt, dimana dan kapan saja).
Pada akhirnya, rasa ini akan menumbuhkan takwa yang tinggi kepada Allah SWT Kalau sudah begitu, apakah orang yang merasa selalu disertai, dilihat, dan disaksikan Allah akan melakukan maksiat? Dia akan senantiasa berbuat POSITIF, berpikir POSITIF, berhati POSITIF dan ini pasti akan merubah pandangan HIDUP kita menjadi HIDUP yang POSITIF. Sehingga pada akhirnya kita akan menili kehidupan ini dengan SELAMAT dan DIRIDHOI ALLAH SWT di akhirat dan tentu saja di dunia ini.


SEMOGA BERMANFAAT

PEMBERSIHAN AURA NEGATIF DIRI UNTUK PENDEKAR TINGKAT TINGGI YANG AKAN MULAI LAKU BATIN

 

IJASAH GUS ITSNA
Pengasuh PP Darul ‘Ulum Selotumpuk Wlingi Blitar
Salam takzim menjura kepada semua anggota maupun anggota KWA. lama saya tidak bertegur saya sama sedulur semua. Pada kesempatan kali ini, sy mau ijasahkan ilmu PEMBERSIHAN AURA NEGATIF DIRI UNTUK PENDEKAR TINGGAT TINGGI YANG AKAN MULAI LAKU BATIN. Berikut adalah doanya:
  1. Istighfar 200x
  2.  SHOLLALLOHU ‘ALA MUHAMMAD 200x
  3. La ilaha illalloh 200x
Tata laku: Lakukan Setiap habis sholat 5 waktu. Puasa 3 hari mulai Rabu Pon-kamis wage, jumat kliwon.
Keterangan: PUASA 3 HARI ITU SETARA DENGAN 40 HARI DARI SISI ILMU JAWA. HARI RABU ADALAH HARI yang BAIK untuk memulai hal-hal baik sebagaimana keterangan kitab ta’lim muta’allim.
Ini termasuk ilmu pendekar tingkat tinggi yang mulai laku batin.
Sejak saya belajar kehebatan dan keampuhan dunia persilatan. berikut tingkatan yg pernah saya jalani:
Masuk tingkat pendekar pertama. Petentang petenteng seperti tidak punya musuh. Naik pentas pencak umum dan suka atraksi. Ilmu bawaannya masih jurus2 fisik dan tenaga dalam. Terasa ampuhnya.
Sepuluh tahun berlalu. Masuk tingkat pendekar kedua. Lebih tunduk. Bekalnya jurus2 teknik dan ilmu2 pernafasan dan tenaga dalam tinggi. Sudah mulai khusyu’ tapi perasaan hebat masih ada.
Tahun berikutnya masuk tingkat pendekar terakhir/ guru besar/ tingkat tiga. Bekalnya ilmu jurus super kunci. Ilmu pernafasan dan tenaga dalam terakhir/ tertinggi. Dan laku2 batin dengan wirid, puasa, melek. Ilmunya pasrah kepada Allah. Mulai laku batinnya dengan pembersihan aura negatif seperti yang saya ijazahkan tadi.
Silahkan bagi yang mau amalkan


SEMOGA BERMANFAAT

DOA NABI YUNUS MENYIBAK TIGA KEGELAPAN

 

Pada suatu ketika  di hadapat umat, Rasulullah Muhammad SAW  memuji Nabi Yunus AS: “Tidak layak seseorang mengatakan, “Saya (Nabi Muhammad SAW) lebih baik daripada Yunus bin Mata.” (Muttafaq ‘alaih)
Apa keistimewaan Nabi Yunus sehingga disebut-sebut mulia oleh Nabi Muhammad? Marilah kita telusuri.
SURAH YUNUS
Adalah surah ke-10 dalam al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 109 ayat dan termasuk golongan surah Makkiyah kecuali ayat 40, 94, 95, yang diturunkan pada Madinah.
Dalam penggolongan surah, surah Yunus termasuk kategori surah Al-Mi’un, yaitu surah-surah Al-Qur’an yang ayatnya berjumlah seratusan karena surah ini terdiri dari 109 ayat. Namun ada juga yang berpendapat surah ini termasuk golongan surah as-Sab’ut Thiwal atau “Tujuh Surah yang Panjang”.
Dalam mushaf Utsmani, surah ini merupakan surah ke-51 yang diturunkan setelah surah Al-Isra’, surah ke-17 dalam al-Qur’an dan sebelum surah Hud, surah ke-11. Seluruh isi surah ini masuk ke dalam Juz 11 dan diletakkan setelah surah At-Taubah dan sebelum surah Hud. Surah ini terdiri atas 11 ruku’. Sedangkan topik utama yang dibahas dalam surah ini meliputi masalah akidah, iman kepada Allah, kitab-kitab dan rasul-Nya, serta Hari kebangkitan dan pembalasan.
Surah Yunus diawali dengan ayat Mutasyabihat ALI LAM RA dan diakhiri dengan ayat yang membahas perlunya mengikuti aturan Allah dan bersabar baik dalam ketaatan maupun musibah. Surah ini dinamakan Yunus merupakan sebuah simbolikal dan bukan berarti surah ini berisi kisah Nabi Yunus AS. Bahkan, kisah terpanjang dalam surah ini adalah kisah Musa dan Bani Israil dengan Fir’aun yaitu pada ayat 75 hingga 93. Hanya ayat ke-98 dari surah inilah yang menyebut kata “Yunus”.
Ada pendapat dari Ahli Hikmah bahwa ayat 98 merupakan bagian terpenting dari surah ini. Inilah ayat yang bila diwiridkan mampu menghilangkan azab bencana dengan kebahagiaan:
FALAWLAA  KAANAT QARYATUN  AAMANAT, FANAFA’AHAA  IIMAANUHAA  ILLAA  QAWMA YUUNUSA LAMMAA  AAMANUU KASYAFNAA  ‘ANHUM ‘ADZAABA  ALKHIZYI FII ALHAYAATI  ALDDUNYAA  WAMATTA’NAAHUM ILAA HIININ
Surat Yunus Ayat 98:  Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu.
NABI YUNUS BIN MATA
Yunus AS dipanggil juga dalam banyak bahasa. Misalnya Dzun Nun dan Yunaan (Arab), Jonah (Inggris), Yonah (Ibrani) Ionas, (Latin). Dia hidup sekitar 820-750 Sebelum Masehi dan Yunus  adalah salah seorang nabi dalam agama Samawi (Islam, Yahudi, Kristen),  yang disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yunus dan dalam Alkitab dalam Kitab Yunus.
Ia ditugaskan berdakwah kepada orang Assyiria di Ninawa di kawasan Iraq. Namanya disebutkan sebanyak 6 kali di dalam Al-Quran dan wafat di Ninawa. Dari segi keturunan, dia mendapatkan panggilan Yunus bin Matta dari keturunan Benyamin bin Ya’qub.
Yunus bin Mata diutus oleh Allah untuk menghadapi penduduk Ninawa, suatu kaum yang keras kepala, penyembah berhala, dan suka melakukan kejahatan. Secara berulang kali Yunus memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak mau berubah, apalagi karena Yunus bukan dari kaum mereka. Hanya ada 2 orang yang bersedia menjadi pengikutnya, yaitu Rubil dan Tanuh. Rubil adalah seorang yang alim bijaksana, sedang Tanuh adalah seorang yang tenang dan sederhana.
Ajaran-ajaran Nabi Yunus itu bagi para penduduk Ninawa merupakan hal yang baru yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. Karenanya mereka tidak dapat menerimanya untuk menggantikan ajaran dan kepercayaan yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka yang sudah menjadi adat kebiasaaan mereka turun temurun. Apalagi pembawa agama itu adalah seorang asing tidak seketurunan dengan mereka.
Mereka berkata kepada Nabi Yunus:
“Apakah kata-kata yang engkau ucapkan itu dan kedustaan apakah yang engkau anjurkan kepada kami tentang agama barumu itu? Inilah tuhan-tuhan kami yang sejati yang kami sembah dan disembahkan oleh nenek moyang kami sejak dahulu. Alasan apakah yang membenarkan kami meninggalkan agama kami yang diwariskan oleh nenek moyang kami dan menggantikannya dengan agama barumu? Engkau adalah orang asing yang datang pada kami agar kami merubah keyakinan kami. Apakah kelebihanmu sehingga mengajari dan menggurui kami. Hentikan perbuatan sia-siamu itu. Penduduk Ninawa tidak akan mengikutimu karena kami teguh dengan ajaran moyang kami”.
Nabi Yunus berkata:
” Aku hanya mengajakmu beriman dan bertauhid sesuai dengan amanah Allah yang wajib kusampaikan padamu. Aku hanyalah pesuruh Allah yang ditugaskan mengeluarkanmu dari kesesatan dan menuntunmu di jalan yang lurus. Aku sekali-kali tidak mengharapkan upah atas apa yang kukerjakan ini. Aku tidak bisa memaksamu mengikutiku. Namun jika kamu tetap bertahan pada aqidah moyangmu itu, maka Allah akan menunjukkan tanda-tanda kebenaran akan risalahku dengan menurunkan adzab yang pedih padamu, seperti yang terjadi pada kaum-kaum sebelum kamu, yaitu kaum Nuh, Aad, dan Tsamud.
Mereka menjawab dengan menantang: “Kami tetap tidak akan mengikuti kemauanmu dan tidak takut ancamanmu. Tunjukkan ancamanmu jika kamu termasuk orang yang benar!”
Nabi Yunus tidak tahan lagi dengan kaum Ninawa yang keras kepala. Ia pergi dengan marah dan jengkel sambil meminta Allah menghukum mereka. Nah, disinilah menurut Allah SWT, Yunus dianggap tidak taat terhadap tugasnya: HANYA MENYAMPAIKAN RISALAH DARI ALLAH SWT, SOAL HIDAYAH ITU URUSAN ALLAH SWT.
Sebab Tugas seorang nabi adalah hanya MENYAMPAIKAN RISALAH TAUHID. Oleh sebab itu, nabi tidak boleh kecewa dan putus asa bila berdakwah meskipun tidak ada yang mengikuti ajarannya. Kepergian Nabi Yusuf dari kaumnya ini, oleh Allah SWT dianggap sebuah perilaku yang melampaui batas  (DHOLIM).
Sepeninggal Nabi Yunus, kaum Ninawa gelisah karena kawasan itu mendung gelap binatang peliharaan gelisah, wajah mereka pucat pasi, dan angin bertiup kencang yang membawa suara bergemuruh. Mereka takut ancaman Yunus benar-benar terjadi.
Akhirnya mereka mulai membuka kesadaran  bahwa Yunus adalah orang yang benar, dan ajarannya berasal dari Allah. Mereka kemudian beriman dan bertaubat, menyesali perbuatan mereka sehingga mengakibatkan Yunus meninggalkan mereka.
Mereka mencari Yunus sambil berteriak meminta pengampunan Allah SWT atas kesalahan mereka.
Allah Yang Maha Pemaaf pun mengampuni mereka, dan segera seluruh keadaan pulih seperti sedia kala. Penduduk Ninawa kemudian tetap berusaha mencari Yunus agar ia bisa mengajari agama dan menuntun mereka di jalan yang benar.
Dalam kekecewaannya, Yunus tiba di sebuah pantai, dan melihat sebuah kapal yang akan menyeberangi laut. Tekadnya bulat, yaitu pergi sejauh-jauhnya dari kaum yang dianggapnya durhaka kepada Allah SWT.
Setelah membayar upeti ke Kapten Kapal maka ia menumpang kapal itu. Di tengah laut tiba-tiba terjadi badai topan yang hebat. Kapal bergoncang-goncang hampir tenggelam tersapu badai. Sang Kapten yakin bahwa kejadian seperti itu harus ada tumbal yang terjun ke laut agar seluruh isi kapal selamat.
Dengan penuh keyakinan, Kapten kapal mengumumkan undian:  Siapa yang terkena undian maka dia harus terjun ke laut sebagai tumbal. Sekalian bisa mengurangi beban kapal sehingga selamat dari tenggelam.
Keanehan terjadi: Undian pertama jatuh pada Yunus, ketika undian diulang nama Yunus keluar lagi. Untuk memantapkan keputusan, digelar undian ketiga dan nama Yunus keluar lagi.
Yunus sadar itu adalah kehendak Allah, ia kemudian rela menjatuhkan diri ke laut dan atas kehendak Allah, seekor ikan Nun (paus) besar langsung menyambar dan menelan Yunus.
Di dalam perut ikan Nun, Yunus bertobat meminta ampun dan pertolongan Allah, ia bertasbih selama 40 hari dengan membaca:
“LAA ILAAHA ILLA ANTA, SUBHANAKA, INNI KUNTU MINADZH DZHALIMIIN
Tiada tuhan melainkan Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah orang yang telah berbuat dhalim.
Dan tentang doa Nabi Yunus itu , Rasulullah  bersabda,
 “Doa Dzunnun (Nabi Yunus ‘alaihissalam) ketika di perut ikan adalah “Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.” Sesungguhnya tidak seorang muslim pun yang berdoa dengannya dalam suatu masalah, melainkan Allah akan mengabulkan doanya.” (HR. Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).
Dalam perut ikan itu, otomatis Yunus berada dalam tiga kegelapan; kegelapan perut ikan, kegelapan lautan, dan kegelapan malam.
Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala, “Dan (ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap, “Bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.”–Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Anbiyaa’: 87-88)
Allah mendengar doa Yunus, dan memerintahkan ikan nun mendamparkan Yunus di sebuah pantai.
Kemudian Allah memerintahkan ikan itu memuntahkan Yunus ke pinggir pantai, lalu Allah tumbuhkan di sana sebuah pohon sejenis labu yang memiliki daun yang lebat yang dapat menaungi Nabi Yunus dan menjaganya dari panas terik matahari. AllahTa’ala berfirman,
“Kemudian Kami lemparkan dia ke daerah yang tandus, sedang ia dalam keadaan sakit.– Dan Kami tumbuhkan untuk dia sebatang pohon dari jenis labu.” (QS. ash-Shaaffaat: 145-146)
Ketika Yunus dimuntahkan dari perut ikan yang keadaannya seperti anak burung yang telanjang dan tidak berambut. Lalu Allah menumbuhkan pohon sejenis labu, dimana ia dapat berteduh dengannya dan makan darinya. Selanjutnya pohon itu kering, lalu Yunus menangis karena keringnya pohon itu. Kemudian Allah berfirman kepadanya, “Apakah kamu menangis karena pohon itu kering. Namun kamu tidak menangis karena seratus ribu orang atau lebih yang ingin engkau binasakan.”
Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Yunus agar kembali kepada kaumnya untuk memberitahukan mereka, bahwa Allah Ta’ala telah menerima taubat mereka dan telah ridha kepada mereka. Maka Nabi Yunus ‘alaihissalam melaksanakan perintah itu, ia pergi mendatangi kaumnya dan memberitahukan kepada mereka wahyu yang diterimanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kaumnya pun telah beriman dan Allah memberikan berkah kepada harta dan anak-anak mereka, sebagaimana yang diterangkan Allah dalam firman-Nya,
“Dan Kami utus dia kepada seratus ribu orang atau lebih.–Lalu mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu yang tertentu.” (QS. ash-Shaaffaat: 147-148)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Nabi Yunus ‘ailaihissalam dalam Alquran, Dia berfirman,
“Dan Ismail, Alyasa’, Yunus, dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan derajatnya di atas umat (di masanya).” (QS. Al An’aam: 86).

SEMOGA BERMANFAAT

RITUAL WIRID DAN DZIKIR DI BERBAGAI TAREKAT

 

sulukTarekat (Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti “jalan” atau “metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau “kebenaran sejati”, yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktik spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah(hakikat, atau kebenaran hakiki).
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thoriqoh, jamaknya thoraiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).
suluk (1)Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat ditemukan pada al-Thoriqoh al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, thoriqoh Naqsabandriyah, Tarekat Rifa’iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai sebutan atau namapaham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam sebutannya saja. Bahkan di Manado ada juga Biara Nasrani yang menggunakan istilah Tarekat, seperti Tarekat SMS Joseph.
Empat tingkatan spiritual
94tarekatKaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari’at, tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma’rifat yang merupakan tingkatan yang ‘tak terlihat’. Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
Mempelajari tarekat
Muhammad Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sholikhin, seorang peng-analisis tarekat dan sufi mengatakan bahwa ada delapan syarat dalam mempelajari tarekat:
  • Qashd shahih, menjalani tarekat dengan tujuan yang benar. Yaitu menjalaninya dengan sikap ubudiyyah, dan dengan niatan menghambakan diri kepada Tuhan.
  • Shidq sharis, haruslah memandang gurunya memiliki rahasia keistimewaan yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi.
  • Adab murdhiyyah, orang yang mengikuti tarekat haruslah menjalani tata-krama yang dibenarkan agama.
  • Ahwal zakiyyah, bertingkah laku yang bersih/sejalan dengan ucapan dan tingkah-laku Nabi Muhammad SAW.
  • Hifz al-hurmah, menjaga kehormatan, menghormati gurunya, baik ada maupun tidak ada, hidup maupun mati, menghormati sesama saudaranya pemeluk Islam, hormat terhadap yang lebih tua, sayang terhadap yang lebih muda, dan tabah atas permusuhan antar-saudara.
  • Husn al-khidmah, mereka-mereka yang mempelajari tarekat haruslah mempertinggi pelayanan kepada guru, sesama, dan Allah SWT dengan jalan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
  • Raf’ al-himmah, orang yang masuk tarekat haruslah membersihkan niat hatinya, yaitu mencari khashshah(pengetahuan khusus) dari Allah, bukan untuk tujuan duniawi.
  • Nufudz al-‘azimah, orang yang mempelajari tarekat haruslah menjaga tekat dan tujuan, demi meraih makrifatkhashshah tentang Allah.
Tujuan
Tujuan tarekat adalah membersihkan jiwa dan menjaga hawa-nafsu untuk melepaskan diri dari pelbagai bentuk ujub, takabur, riya’, hubbud dunya (cinta dunia), dan sebagainya. Tawakal, rendah hati/tawadhu’, ridha, mendapat makrifat dari Allah, juga menjadi tujuan tarekat.
Ada yang menganggap mereka yang menganggap orang-orang sufi dan tarekat sebagai orang yang bersih (shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran “dan yang baginya sama saja antara nilai emas dan batu-batuan,” tulis Muhammad Sholikhin dalam bukunya. Ada pula yang menganggap mereka mencapai makna orang yang berkata benar, semulia-mulianya manusia setelah para Nabi sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa (4):69.[2] Namun, Ibnu Taimiyahmengatakan pendapat ini salah sama sekali. Yang benar, adalah “orang-orang yang berijtihad dalam ketaatannya kepada Allah.”
Tarekat-tarekat di Indonesia
Berikut ini adalah Thoriqoh-thoriqoh utama yang ada dan berkembang di Indonesia:
  • Tarekat Alawiyyah
  • Tarekat Idrisiyah
  • Tarekat Khalwatiyah
  • Tarekat Nahdlatul Wathan
  • Tarekat Naqsyabandiyah
  • Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
  • Tarekat Qodiriyah
  • Tarekat Rifa’iah
  • Tarekat Samaniyah
  • Tarekat Shiddiqiyyah
  • Tarekat Syadziliyah
  • Tarekat Syattariyah
  • Tarekat Tijaniyah
Dan lain sebagainya..
Tumbuhnya tarekat dalam Islam bersamaan dengan kelahiran agama Islam yaitu sejak Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Tahannust dan khalwat Nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks tersebut. Proses khalwat Nabi yang kemudian disebut tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai kepada para guru tarekat.
Suluk berarti berzikir terus-menerus mengingat Allah SWT. Baik zikir ismal-dzat atau menyebut Allah, maupun dzikir naif itsbat dengan menyebut La Ila Ha Illa Allah. Dalam Tarekat Naqsyabandiyah, misalnya, zikir suluk terdapat 7 tingkatan. Mula-mula zikir dengan menyebut nama Allah dalam hati sebanyak 5.000 kali sehari semalam. Berikutnya, jemaah menaikkan zikir menjadi 6.000 kali sehari semalam. Kemudian setelah melaporkan perasaan yang dialami dalam berzikir itu, maka dinaikkan zikirnya menjadi 7000. Demikian seterusnya menjadi 8.000, 9.000 hingga 10.000 kali sehari semalam.
Berikut ini adalah rangkuman ritual berbagai wirid dan dzikir di beberapa tarekat sebagaimana yang pernah dimuat di media pejalan ruhani yang dalam istilah tarekat disebut SULUK.
SULUK TAREKAT QODIRIYAH
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah mursyid tarekat Qadiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah yang merujuk pada Sayyidina Ali ra. dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan seterusnya adalah dari Nabi Muhammad Saw., dari Malaikat Jibril dan dari Allah SWT.
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syaikh Abdul Qadir al Jilani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy al-Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jilani. Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166 M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Syaikh Abu Yusuf al-Hamadani (440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Syaikh Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Syaikh Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, Syaikh Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qadiriyah terus berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya, baru berkembang setelah Syaikh Muhammad Ghawsh (w. 1517 M) juga mengaku keturunan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syaikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syaikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M), Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nablusiyah, Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, ‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’Aliyyah, Manzaliyah dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut “Syurafa Jilala”.
Dari ketaudanan Nabi dan sahabat Ali ra. dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut, yang kemudian disebut tarekat, maka tarekat Qadiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah SWT. Oleh sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras (dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra., hingga disebut tarekat Qadiriyah. Selain itu dalam setiap selesai melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh), diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih, lalu membaca shalawat tiga kali, Laa ilaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima) kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah” kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak. Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi, menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah SWT-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat Umar bin Khattab ra., ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan ra., ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah ra. dan Khalid bin Walid ra., ahli falak Zaid al-Farisi ra., ahli syi’ir Hasan bin Tsabit ra., ahli lagu Al Qur’an sahabat Abdillah bin Mas’ud ra. dan Ubay bin Ka’ab ra., ahli hadis Abi Hurairah ra., ahli adzan sahabat Bilal ra. dan Ibni Ummi Maktum ra., ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad Saw. adalah sahabat Zaid bin Tsabit ra., ahli zuhud Abi Dzarr ra., ahli fiqh Mu’ad bin Jabal ra., ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi ra., ahli berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf ra. dan sebagainya.
Untuk mengamalkan tarekat Qadiriyah, harus melalui tahapan-tahan seperti; pertama, adanya pertemuan guru (syaikh) dan murid, murid mengerjakan shalat dua raka’at (sunnah muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian murid duduk bersila di depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laa ilaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS. Al-Fath 10).
Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid (Laa Ilaha Illa Allah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat, membai’at sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti “jalan” sama seperti syari’ah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Al Qur’an, seperti QS. Al-Jin:16, “Kalau saja mereka berjalan dengan teguh di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam perbendaharaan kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang terjadi pada syari’ah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran esoterik/bathiniah mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot keruhaniannya berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari Rasulullah Saw., sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi di Indonesia.
Dalam dunia tasawuf, olah spiritual riyadhah memiliki dimensi yang sangat luas. Apalagi olah spiritual itu menyangkut dimensi yang tak tersentuh oleh indera. Jiwa, hati, dan nafsu adalah merupakan satu dari rahasia Allah yang terus coba digali oleh para pencari kebenaran.
Banyak bentuk diungkapkan guna memperjelas jalan dan mempertegas alur menuju kemurnian tauhid dan ketulusan ubudiyah. Termasuk ikhtiar yang dilakukan melalui berbagai bentuk untuk mendapatkan hakikat makna kehidupan dan arti hubungan antara seorang hamba dan Sang Khalik.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang dijuluki pemimpin para wali Allah (quthb al-auliya), menuangkan gagasan dan hasil kontemplasi dalam salah satu kitabnya yang bertajuk Al-Fath Ar-Rabbani Wa Al-Faidl Ar-Rahmani.
Kitab ini memuat tentang olah spiritual dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Nasehat-nasehat yang tertuang dalam 62 dua majelis. Tema-tema yang diangkat berputar pada cara mengelola dan mendidik jiwa, hawa nafsu, dan membersihkan hati.
Perkara yang perlu ditekankan pertama kali adalah memahami arti tauhid yang merupakan inti dari ajaran agama. Al-Jailani menegaskan, berpaling kepada Allah SWT ketika takdir turun berarti ketiadaan agama, tauhid nihil, dan sirnalah arti tawakal dan keikhlasan. Akal manusia tidak mampu mencerna bagaimana dan kenapa Allah menakdirkan sesuatu kepada hamba-Nya. Bahkan, seringkali akal sehat dan hati kecil manusia menentang dan tidak rela dengan ketentuan yang telah diberikan kepadanya.
Oleh karena itu, Al-Jailani memberikan nasehat agar terhindar dari keburukan nafsu dengan cara terus melatih dan menempanya. Tatkala nafsu berhasil ditaklukkan maka segalanya akan menjadi baik dan berada dalam koridor kebaikan selalu. Nafsu pun akan selaras dengan segala bentuk ketaatan dengan meninggalkan maksiat. Sebagaiman firman Allah, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27- 28).
Al-jailani meminta agar tetap menjaga kemurnian hati, jika hati baik maka seluruh tindakan akan baik pula seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadis berikut: “Ada segumpal darah di tubuh anak Adam yang apabila dia baik, maka seluruh jasadnya akan baik pula. Dan jika hatinya rusak, maka rusaklah semua jasadnya, yaitu hati.” Agar hati selalu terjaga maka ketakwaan, tawakal, tauhid dan ikhlas beramal untuk Allah semata penting ditekankan. Selama perkara tersebut ditanamkan maka niscaya hati akan terhindar dari kerusakan.
SULUK TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah juga mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Tarekat Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
Pada zaman Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq ra. hingga zaman Syaikh Abu Yazid al-Busthami, tarekat ini dikenal dengan nama Shiddiqiyyah, amalan khususnya adalahdzikir khafi (dzikir dalam hati). Ketika dikenal dengan nama Taifuriyah, tarekat ini mengedepankan tema khusus yakni cinta dan makrifat. Periode setelahnya, Khwajaganiyah, Tarekat Naqsyabandiyah diperkuat dengan delapan asas yang dirumuskan oleh Syaikh ‘Abd al-Khaliq Ghujdawani. Lalu, pada zaman ketika Naqsyabandiyah mulai menjadi nama tarekat ini, Syaikh Baha’uddin Naqsyabandimenambahkan 3 asas lagi. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-‘Ushul Fi al-‘Auliya. Kitab karya Syaikh Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi, dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Syaikh Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Syaikh Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya Syaikh ‘Abd al-Khaliq adalah:
  1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”
Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
  1. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”
Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
  1. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”
Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
  1. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”
Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
  1. Yad kard: “ingat”, “menyebut”
Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh seorang guru, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjama’ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
  1. Baz gasyt: “kembali”, “memperbarui”
Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
  1. Nigah dasyt: “waspada”
Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
  1. Yad dasyt: “mengingat kembali”
Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Dzat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi:
  1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu”
Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterima kasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
  1. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir”
Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
  1. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”
Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.
Di luar semua asas tersebut, terdapat pula dua kaidah jalan yang diperkenalkan para masyayikh tarekat setelah itu sebagai bekal perjalanan mencapai kebenaran hakiki. Keduanya adalah tarekat nafsani dan tarekat ruhani. Tarekat nafsani, mengambil pendekatan dengan mendidik diri dan menundukkan ke-aku-an, yakni ego yang ada dalam diri manusia. Dalam mengamalkan tarekat ini, seseorang harus melakukan segala sesuatu yang berlawanan dengan kehendak ego. Karenanya ia dimaknai sebagai perang atau jihad dalam diri seorang mukmin. Sedangkan tarekat ruhani berarti pensucian ruh. Hal itu dimaksudkan agar ruh yang telah disucikan mengenali hakikat diri yang sebenarnya, sehingga ego akan menuruti dan mentaatinya.
Tarekat Naqsyabandiyah memiliki tujuan menjadi kekal berkepanjangan dalam memperhambakan diri secara lahir dan batin, serta dalam menghadirkan Allah ke dalam hati. Para sufi yang mengamalkan tarekat ini tidak bertujuan menjadi mulia, kaya, sakti, dan sebagainya, melainkan untuk mendekatkan diri dan mengharap ridha Allah semata.
Dzikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganutNaqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syaikh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjama’ah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Secara keseluruhan, ajaran tarekat Naqsyabandiyah terdiri dari 17 tingkat mata pelajaran. Ke-17 tingkat mata pelajaran tersebut adalah;
  1. Dzikir Ismu Dzat: “mengingat yang Haqiqi”
Pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Allah semata.
  1. Dzikir Latha’if: “mengingat Asma Allah pada tujuh titik halus pada tubuh”
Seseorang yang berdzikir memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah;
– qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri
– ruh (jiwa), selebar dua jari di bawah puting susu kanan
– sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas puting susu kiri
– khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan
– akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada
– nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama
– kullu jasad, luasnya meliputi seluruh tubuh, bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam Asma Allah.
  1. Dzikir Nafi Itsbat: “mengingat keesaan”
Bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat La Ilaha Illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, Illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.
  1. Dzikir Wuquf: “diam dengan semata-mata mengingat Allah”
Mengingat Dzat Allah yang bersifat dengan segala sifat sempurna dan suci, atau jauh dari segala sifat kekurangan. Dzikir Wuquf ini dirangkaikan setelah selesai melaksanakan dzikir Ismu Dzat atau dzikir Latha’if, atau dzikir Nafi Itsbat. Pelaksanaan dzikir Wuquf ini sebelum menutup dzikir-dzikir tersebut.
  1. Dzikir Muraqabah Ithla’
Seseorang berdzikir dan ingat kepada Allah SWT bahwa Ia mengetahui keadaan-keadaannya dan melihat perbuatan-perbuatannya, serta mendengar perkataan-perkataannya.
  1. Dzikir Muraqabah Ahadiyatul Af’al
Berkekalannya seorang hamba menghadap serta memandang Allah SWT yang memiliki sifat sempurna serta bersih dari segala kekurangan, serta Maha Berkehendak.
  1. Dzikir Muraqabah Ma’iyah
Berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Allah SWT yang mengintai di mana saja hamba itu berada.
  1. Dzikir Muraqabah Aqrabiyah
Keadaan mengingat betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya.
  1. Dzikir Muraqabah Ahadiyatuzzati
Mengingat sifat Allah yang esa dan menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu.
  1. Dzikir Muraqabah Zatissyarfi wal Bahti
Berkaitan dengan sumber timbulnya kesempurnaan kenabian, kerasulan dan ‘ulul azmi, yakni dari Allah semata.
  1. Maqam Musyahadah
Kondisi di mana seseorang berdzikir seolah-olah dalam tahap berpandang-pandangan dengan Allah.
  1. Maqam Mukasyafah
Kondisi di mana seolah terbuka rahasia ketuhanan bagi seseorang yang berdzikir. Bila berdzikir pada maqam ini dilaksanakan dengan baik, sempurna, dan ikhlas, maka seorang hamba akan memperoleh hakikat kasyaf dan rahasia-Nya.
  1. Maqam Muqabalah
Dalam tahap berhadap-hadapan dengan wajah Allah yang wajibul wujud.
  1. Maqam Mukafahah
Tahap ruhaniah seseorang yang berdzikir berkasih sayang dengan Allah. Dalam maqam ini, kecintaan pada selain Allah telah hilang sama sekali.
  1. Maqam Fana’ Fillah
Kondisi di mana rasa keinsanan seseorang melebur ke dalam rasa ketuhanan, serta secara fana melebur dalam keabadian Allah.
  1. Maqam Baqa’ Billah
Pencapaian tahap dzikir, di mana kehadiran hati seorang hamba hanya bersama Allah semata.
  1. Tahlil Lisan
Melaksanakan dzikir Nafi Itsbat yang diucapkan secara kedengaran, atau jahar. Dzikir Tahlil Lisan ini dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan oleh syaikh mursyid.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad Saw., dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syaikhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Syaikh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.
SULUK  TAREKAT TIJANIYAH
Sejauh ini Syaikh Ahmad at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Meskipun at-Tijani menentang keras pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan hari tertentu, dan bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak menafikan perlunya wali (perantara) tersebut. At-Tijani sangat menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia, yang berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani kalimatnya dimulai dengan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syaikh perantara sarana untuk manunggal dengan Allah”. Dalam hal ini, perantara itu tak lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat lain, tarekat ini juga menganjurkan agar anggotanya mengamalkan ajaran dengan menggambarkan wajah syaikh dalam ingatan mereka (rabithah), dan mengikuti seluruh nasehat syaikh dengan tenang.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100 kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istighfar (astaghfirullah al-adzim alladzi laa ilaha illa huwa al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali, Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim) sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at membaca Haylalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah.. setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini, at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjama’ah. Beberapa syarat yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah: berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir Tarekat Tijaniyah — yang  membedakannya dengan tarekat lain — adalah bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi Muhammad Saw., bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk langsung kepada nama Nabi Muhammad Saw. Akibatnya, jelas tarekat ini telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan atas ajaran esoterik, terutama ekstatik dan metafisis sufi.
Berikut petikan dari kitab As-sirr al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan dan dzikir dalam tarekat ini:
“Anda haruslah seorang muslim dewasa untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya Tuhannya manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah. Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat berhubungan baik dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari awrad lain manapun selain awrad dari Syaikh Anda, sebab Tuhan tidak menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at, sebab semua itu telah ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi Muhammad Saw.). Anda harus mencintai Syaikh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.
Anda dilarang untuk memfitnah, atau menimbulkan permusuhan terhadap Syaikh Anda, sebab hal itu akan membawa kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syaikh mengatakan kepada Anda tentang kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang Awal dan Yang Akhir.
Anda dilarang mengkritik segala sesuatu yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan mencabut Anda dari kebijakan-kebijakan.
Jangan melantunkan wirid Syaikh kecuali sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum’at dengan persaudaraan, sebab itu adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda dilarang membaca Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi Muhammad Saw. akan hadir dalam pembacaan ketujuh.
Jangan menginterupsi (pelantunan yang dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab hukuman akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu, sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda dilarang memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual”.
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah, Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusus dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, Syaikh Ahmad at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah diperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua, dan seterusnya.
Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri kepada Syaikh Ahmad at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi Muhammad Saw. beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi Muhammad Saw. tidaklah menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi Muhammad Saw. hanya mengandung arti bahwa Beliau tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun Beliau tetap mempertahankan penampilannya sebelum Beliau wafat dan tetap ada di mana-mana: dan Beliau muncul dalam impian atau di siang hari di hadapan orang yang disukainya.
Akan tetapi kaum muslim ortodoks membantah penyataan Syaikh Ahmad at-Tijani dan para pengikutnya yang menyangkut pengajaran Nabi Muhammad Saw. ini kepadanya. Sebab jika Nabi Muhammad Saw. secara pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa tertentu maka itu berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. telah “wafat” tanpa menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini sama dengan tindak kekafiran, kufr.
Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela tarekat ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi Muhammad Saw. melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya? Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada perintah bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari’at), dan bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian? Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya, Muhammad Rasulullah Saw?
SULUK  TARIKAT KHALWATIYAH
Ajaran tarekat sufi yang disampaikan oleh Syaikh Musthafa ibn Kamal Al-Din Al-Bakri banyak diambil dari sang guru, Syaikh Abdul Latif bin Syaikh Husamuddin Al-Halabi. Berbagai ritual yang dijalankan oleh Syaikh Abdul Latif telah memberi pengaruh pada pemikiran ataupun praktik kehidupan Al-Bakri sehari-hari. Tiga unsur dalam ajaran Al-Bakri-lah yang barangkali turut memberi andil dalam menghidupkan kembali Tarekat Khalwatiyah.
Ketiga unsur tersebut adalah tuntutan kepatuhan yang eksklusif pada tarekat dan disiplin yang ketat dalam menjalankan amalan Khalwatiyah; partisipasi orang awam dalam ritual tarekat; dan ketaatan pada syari’at.
Sebagai tarekat yang berorientasi pada syari’at, Khalwatiyah menekankan penggabungan pengetahuan (‘ilm) dan praktik (‘amal). Ia juga menuntut pengikatan hati (rabth al-qalb) seorang murid kepada guru (syaikh) sedemikian rupa sehingga hubungan antara keduanya harus lebih erat daripada hubungan antara seorang ayah dan anak.
Selain melakukan khalwah (mengasingkan diri), berbagai amalan praktis lainnya yang diajarkan dalam Khalwatiyah adalah berdiam diri (shamt), menjaga diri (sahar), mengingat Allah SWT (dzikir), dan membaca secara berjama’ah (wirid alsattar). Wirid ini merupakan pusat dan puncak ritual Khalwatiyah.
Seperti tarekat sufi lainnya, Tarekat Khalwatiyah juga mengenal sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah (tujuh nama). Yakni, tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang harus dibaca oleh setiap murid (salik).
Dzikir pertama adalah La Ilaaha Illallah (pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah SWT). Dzikir pada tingkat pertama ini disebut an-Nafs al-Ammarah (nafsu yang bermuara pada keburukan dan amarah). Jiwa pada tingkatan ini dianggap sebagai jiwa yang paling kotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiat, seperti mencuri, berzina, membunuh, dan sebagainya.
Kedua, Allah SWT. Pada tingkatan kedua ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan pada pemiliknya serta menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan perbuatan-perbuatan buruk.
Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT sehingga bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa ini disebut an-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang). Jiwa ini, selain bersih, juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problem hidup ataupun guncangan jiwa lainnya.
Kelima, Hayy (Maha Hidup). Dzikir pada tingkatan ini disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridha). Jiwa ini semakin bersih, tenang, dan ridha (rela) terhadap apa yang menimpa pemiliknya, karena semua itu semata-mata pemberian Allah SWT.
Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridhai). Jiwa ini semakin bersih, tenang, dan ridha terhadap semua pemberian Allah SWT serta juga mendapatkan keridhaan-Nya.
Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan, inilah jiwa terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna yang akan terus mengalami kesempurnaan selama hidup pemiliknya.
Inti dari tujuh tingkatan dzikir tersebut didasarkan kepada ayat-ayat Al Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan pada Surah Yusuf ayat 53, ”Sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan.” Tingkatan kedua dari Surah Al-Qiyamah ayat 2, ”Dan, Aku tidak bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali.”
Tingkatan ketiga dari Surah As-Syams ayat 7 dan 8, ”Demi jiwa dan yang menyempurnakannya. Allah SWT mengilhami jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya.”
Tingkatan keempat dari Surah Al-Fajr ayat 27, ”Wahai jiwa yang tenang.” Tingkatan kelima dan keenam dari Surah Al-Fajr ayat 28, ”Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridhaan dan diridhai.”
Sementara itu, untuk tingkatan ketujuh yang sudah sempurna atau yang berada di atas semua jiwa, secara eksplisit tidak ada dalam Al Qur’an karena kitab suci ini seluruhnya merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya.
SULUK TARIKAT SYATARIYAH
Bila menyebut sebuah ajaran tarekat, yang paling banyak diajarkan dalam ritualnya adalah dzikir. Dan dzikir adalah salah satu amalan yang paling utama dalam sebuah tarekat. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah Saw. bersabda, ”Ketahuilah bahwa sesungguhnya dzikir itu akan menenangkan hati. Sebaik-baik dzikir adalah dengan membaca Laa Ilaha Illallah.”
Karena itulah, dzikir dan wirid, untuk mendekatkan diri kepada Allah, menjadi hal yang paling utama dalam sebuah tarekat. Demikian halnya dengan Tarekat Syattariyah. Dalam ajaran dan ritualnya, tarekat ini juga banyak melafalkan kalimat-kalimat tauhid dan Asmaul Husna sebagai bagian dari wirid dan dzikir.
Para pengikut tarekat ini akan mencapai tujuan-tujuan mistik (kesufian) melalui kehidupan asketisme atau zuhud. Untuk menjalaninya, seseorang terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat akhyar (orang-orang terpilih) dan abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir.
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah SWT itu sebanyak gerak nafas makhluk, tetapi yang paling utama di antaranya adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Ketiga kelompok tersebut memiliki metode masing-masing dalam berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan terhadap Allah SWT.
Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca Al Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Sedangkan, kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu menyucikan hati. Menurut para tokoh Tarekat Syattariyah, jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Syattar karena mereka memperoleh bimbingan langsung dari roh para wali.
Ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu tobat, zuhud, tawakal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridha, dzikir, dan musyahadah (menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT). Dzikir dalam Tarekat Syattariyah terbagi dalam tiga kelompok yang semuanya menitikberatkan pada pelafalan Asma’ul Husna (nama-nama Allah SWT). Ketiga kelompok tersebut menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya, dan menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut.
Para pengikut ajaran Tarekat Syattariyah meyakini bahwa menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya akan menjadikan seorang salik (murid) lebih tunduk kepada-Nya. Nama-nama yang dimaksud adalah Al-Qahhar, Al-Jabbar, Al-Mutakabbir. Setelah merasakan dirinya semakin tunduk kepada Allah SWT, murid dapat menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya, yaitu Al-Malik, Al-Quddus, dan Al-Alim. Sedangkan, nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut di atas adalah Al-Mukmin dan Al-Muhaimin.
Menurut aturan Tarekat Syattariyah, pelafalan dzikir dengan menyebut nama-nama Allah SWT harus dilakukan secara berurutan. Artinya, terlebih dahulu menyebut nama-nama yang berhubungan dengan keagungan-Nya, kemudian diikuti dengan nama-nama yang berhubungan dengan keindahan-Nya, dan nama-nama yang merupakan gabungan kedua sifat tersebut.
Proses ini dilakukan secara terus-menerus dan berulang-ulang hingga hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Apabila hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
  1. Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
  2. Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
  3. Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
  4. Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
  5. Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
  6. Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
  7. Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
  1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
  1. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
  2. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
  1. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
  2. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
  3. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
  4. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni;
  1. a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain.
  2. b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
  3. c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas.
Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syaikh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad Saw. lewat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syaikhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan sampai kepada Rasulullah Saw. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw., atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali ra., dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw. sebelum melimpahkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’ (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
SULUK TARIKAT RIFA’IYAH
Setiap tarekat memiliki amalan dzikir atau wirid. Dzikir dan wirid ini merupakan amalan ‘pokok’ yang harus dilaksanakan oleh setiap anggotanya.
Dalam keseharian, mereka harus menjalankan praktik dzikir atau wirid ini. Umumnya, hal itu dilaksanakan setelah shalat fardhu.
Tentu saja, wirid dan dzikir antara satu tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal ‘lelaku’ atau gerakan dzikir ini.
Namun, satu hal yang menjadi kesamaan hampir dalam seluruh tarekat adalah dzikir kalimat tahlil, yakni La ilaha illallah (Tiada Tuhan kecuali Allah). Kalimat ini senantiasa dibaca secara berulang-ulang.
Bentuk lainnya berupa dzikir vokal yang diucapkan secara teratur oleh kaum Rifa’iyah dalam zawiyah mereka. Dalam beberapa cabang Rifa’iyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan selalu melafalkan nama-nama Allah (Asma’ul Husna). Misalnya, Allah, Hu (Dia), Hayy (Yang Hidup), Haqq (Yang Nyata), Qayyum (Yang Mandiri), Rahman (Yang Pengasih), Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya.
Ciri khas Tarekat Rifa’iyah terletak pada dzikirnya. Dzikir kaum Rifa’iyah ini disebut ‘darwis melolong’ karena dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Dzikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan.
Saat itu, mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, misalnya berguling-guling dalam bara api, tetapi tidak terbakar sedikit pun.
Sebelumnya, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, sebagian kaum Rifa’iyah terkenal karena mengikutkan praktik upacara, seperti menusuk kulit dengan pedang dan makan kaca.
Praktik seperti ini menyebar bersama Tarekat Rifa’iyah hingga ke kepulauan Melayu. Namun, pada masa kini, praktik-praktik tersebut tidak lagi dijalankan oleh para pengikut Rifa’iyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di wilayah Sumatera, para pengikut Rifa’iyah memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata tajam yang diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dabus dalam bahasa Arab artinya besi yang tajam.
Christian Snouck Hurgronje dalam De Acehers mengatakan, dabus dan rebana yang kerap dimainkan di wilayah Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa’iyah.
Debus ini juga berkembang di Tanah Sunda, sebagaimana diungkapkan oleh C. Poensen dalam bukunya, Het Daboes van Santri Soenda. Di Sumatera Barat, kesenian dabus ini dikenal dengan badabuih. Dalam Encyclopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan bahwa perkembangan Tarekat Rifa’iyah ini bersama-sama dengan permainan dabus.
Tiga ajaran dasar
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa’iyah harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat). Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu pekan pada awal Muharram.
Menurut Sayyid Mahmud Abul Al-Faidl Al-Manufi,Tarekat Rifa’iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitutidak meminta sesuatu, tidak menolak, dan tidak menunggu.
Sementara itu, menurut Asy-Sya’rani, tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat (puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syaikh Ar-Rifa’i, sebagaimana diriwayatkan Asy-Sya’rani, asketisme merupakan landasan keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan.
Asketisme adalah langkah pertama orang menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah, dan bertawakal kepada Allah. “Barangsiapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah selanjutnya belum lagi benar,” kata Syaikh Ar-Rifa’i.
Mengenai makrifat, Syaikh Ar-Rifa’i berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar rindu dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni MA dalam tulisannya mengenai Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa’iyah ini semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema Cinta Ilahi.
“Andaikan malam menjelang, begitu gairah kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu. Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan menggelorai kecewa.
Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa. Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya. Sementara dia bisa dipercaya tanpa-Nya. Dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah baginya. Bahkan, dia tidak dapat maaf sampai bebas karenanya.”
Syair di atas merupakan salah satu bentuk asketisme yang dilakukan Syaikh Ahmad Rifa’i dalam mencapai hakikat tertinggi mengenal Allah, yakni makrifat.
SULUK TAREKAT MAWLAWIYAH
Suatu saat Mawlana Syaikh Jalaluddin ar-Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam tarian Sama’, ketika itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau mengatakan, “Seperti juga ketika shalat kita berbicara dengan Tuhan, maka dalam keadaan ekstase (mabuk spiritual) para darwis juga berdialog dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama’ yang merupakan bagian Shalawat atas Baginda Nabi Muhammad Saw adalah merupakan wujud musik cinta demi cinta Nabi Saw dan pengetahuan-Nya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia tersembunyi dalam Musik dan Sama’, dimana musik merupakan gerbang menuju keabadian dan Sama’ adalah seperti electron yang mengelilingi intinya bertawaf menuju Sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup, tarian “Sama” sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman. Rumi bersama teman darwisnya selepas shalat Isya’ sering melakukan tarian sama’ di jalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi yang memuji Sama’ dan perasaan harmonis alami yang muncul dari tarian suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang kefanaan dalam Sama’, “Ketika gendang ditabuh seketika itu perasaan ekstase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”. Tarian Sama’ ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama’ dari tarekat Mawlawiyah dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan khusus pada abad ke-17. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi, suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukiskan dalam istilah-istilah yang menyenangkan. Para anggota Tarekat Mawlawiyah belajar menarikan tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney, seruling kayu.
Para penari masuk mengenakan pakaian putih sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai simbol alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu nisan. Seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwis lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas karpet merah menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai bershalawat untuk Rasulullah Saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan musik, gendang, marawis dan seruling ney.
Peniup seruling dan penabuh gendang memulai musiknya, maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa manusia menemui Tuhannya. Pada putaran ketiga, Syaikh kembali duduk dan para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan kuburan untuk mengalami “mati sebelum mati”, kelahiran kedua. Ketika Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet mengelilingi matahari.
Ketika tarian hampir usai, maka Syaikh berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik penutup dan pembacaan ayat suci Al Qur’an. Sekalipun beberapa gerakan tarian ini pelan dan terasa lambat, tetapi orang-orang yang menyaksikannya mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan. Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan para darwis menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan para hadirin diminta untuk tidak bertepuk tangan karena Sama’ adalah sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke-17, Tarekat Mawlawiyah dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tarekat Mawlawiyah kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja memungkinkan Tarekat Mawlawiyah menyebar luas ke berbagai daerah dan memperkenalkan kepada banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan indah. Pada Abad ke-18, Salim III – seorang Sultan Utsmaniyah – menjadi anggota Tarekat Mawlawiyah dan kemudian dia menciptakan musik untuk upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke-19, Mawlawiyah merupakan salah satu dari sekitar 19 aliran sufi di Turki dan sekitar 35 kelompok semacam itu di kerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengaruh di seluruh kerajaan, dan prestasi kultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika, pertunjukkan keliling mereka menyita perhatian publik. Selama abad 19, sebuah panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki menarik perhatian banyak kelompok wisatawan Eropa yang datang ke Turki.
Pada tahun 1925, Tarekat Mawlawiyah dipaksa membubarkan diri di tanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal Attaturk, pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam Rumi di Konya di ambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara. Motivasi utama Attatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti demokrasi ala barat. Bagi Attaturk, tarekat sufi menjadi ancaman bagi modernisasi Turki.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap terpelihara dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata. Meskipun demikian pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah para peziarah dan bukan wisatawan. Pada tahun 1953 melalui sebuah kesepakatan, pemerintah Turki akhirnya menyetujui tarian Sama’ Tarekat Mawlawiyah dipertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan tersebut bersifat kultural untuk para wisatawan.
Rombongan darwis juga diijinkan untuk berkelana secara internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang ilegal di Turki dan para sufi banyak diburu sejak Attaturk melarang agama mereka

SEMOGA BERMANFAAT