Tarekat
(Bahasa Arab: طرق, transliterasi: Tariqah) berarti “jalan” atau
“metode”, dan mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam
Islam. Ia secara konseptual terkait dengan ḥaqīqah atau “kebenaran
sejati”, yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku
aliran tersebut. Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya
dengan mempelajari hukum Islam, yaitu praktik eksoteris atau duniawi
Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan
yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktik spiritual dan bimbingan seorang
pemimpin tarekat, calon penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai
ḥaqīqah(hakikat, atau kebenaran hakiki).
Kata tarekat berasal dari bahasa Arab
thoriqoh, jamaknya thoraiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan
atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan
(al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat,
payung (‘amud al-mizalah).
Menurut
Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode
khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah
Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Dengan demikian tarekat memiliki dua
pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual
kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri
dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi
brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti
zawiyah, ribath, atau khanaqah.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu
mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan
(persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau
khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru
tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan
berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah
atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru.
Pengertian diatas menunjukkan Tarekat
sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu dapat
ditemukan pada al-Thoriqoh al-Mu’tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat
Qadiriyah, thoriqoh Naqsabandriyah, Tarekat Rifa’iah, Tarekat Samaniyah
dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat sebagai
sebutan atau namapaham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya
secara langsung dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat
besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman Gayam (Bogor), Tarekat
Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam
sebutannya saja. Bahkan di Manado ada juga Biara Nasrani yang
menggunakan istilah Tarekat, seperti Tarekat SMS Joseph.
Empat tingkatan spiritual
Kaum
sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam
Islam, yaitu syari’at, tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma’rifat
yang merupakan tingkatan yang ‘tak terlihat’. Tingkatan keempat dianggap
merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh
tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
Mempelajari tarekat
Muhammad Hasyim Asy’ari sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Sholikhin, seorang peng-analisis tarekat dan sufi
mengatakan bahwa ada delapan syarat dalam mempelajari tarekat:
- Qashd shahih, menjalani tarekat dengan tujuan yang benar. Yaitu
menjalaninya dengan sikap ubudiyyah, dan dengan niatan menghambakan diri
kepada Tuhan.
- Shidq sharis, haruslah memandang gurunya memiliki rahasia keistimewaan yang akan membawa muridnya ke hadapan Ilahi.
- Adab murdhiyyah, orang yang mengikuti tarekat haruslah menjalani tata-krama yang dibenarkan agama.
- Ahwal zakiyyah, bertingkah laku yang bersih/sejalan dengan ucapan dan tingkah-laku Nabi Muhammad SAW.
- Hifz al-hurmah, menjaga kehormatan, menghormati gurunya, baik ada
maupun tidak ada, hidup maupun mati, menghormati sesama saudaranya
pemeluk Islam, hormat terhadap yang lebih tua, sayang terhadap yang
lebih muda, dan tabah atas permusuhan antar-saudara.
- Husn al-khidmah, mereka-mereka yang mempelajari tarekat haruslah
mempertinggi pelayanan kepada guru, sesama, dan Allah SWT dengan jalan
menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
- Raf’ al-himmah, orang yang masuk tarekat haruslah membersihkan niat
hatinya, yaitu mencari khashshah(pengetahuan khusus) dari Allah, bukan
untuk tujuan duniawi.
- Nufudz al-‘azimah, orang yang mempelajari tarekat haruslah menjaga
tekat dan tujuan, demi meraih makrifatkhashshah tentang Allah.
Tujuan
Tujuan tarekat adalah membersihkan jiwa
dan menjaga hawa-nafsu untuk melepaskan diri dari pelbagai bentuk ujub,
takabur, riya’, hubbud dunya (cinta dunia), dan sebagainya. Tawakal,
rendah hati/tawadhu’, ridha, mendapat makrifat dari Allah, juga menjadi
tujuan tarekat.
Ada yang menganggap mereka yang
menganggap orang-orang sufi dan tarekat sebagai orang yang bersih
(shafa) dari kekotoran, penuh dengan pemikiran “dan yang baginya sama
saja antara nilai emas dan batu-batuan,” tulis Muhammad Sholikhin dalam
bukunya. Ada pula yang menganggap mereka mencapai makna orang yang
berkata benar, semulia-mulianya manusia setelah para Nabi sebagaimana
firman Allah dalam QS. An-Nisa (4):69.[2] Namun, Ibnu Taimiyahmengatakan
pendapat ini salah sama sekali. Yang benar, adalah “orang-orang yang
berijtihad dalam ketaatannya kepada Allah.”
Tarekat-tarekat di Indonesia
Berikut ini adalah Thoriqoh-thoriqoh utama yang ada dan berkembang di Indonesia:
- Tarekat Alawiyyah
- Tarekat Idrisiyah
- Tarekat Khalwatiyah
- Tarekat Nahdlatul Wathan
- Tarekat Naqsyabandiyah
- Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
- Tarekat Qodiriyah
- Tarekat Rifa’iah
- Tarekat Samaniyah
- Tarekat Shiddiqiyyah
- Tarekat Syadziliyah
- Tarekat Syattariyah
- Tarekat Tijaniyah
Dan lain sebagainya..
Tumbuhnya tarekat dalam Islam
bersamaan dengan kelahiran agama Islam yaitu sejak Nabi Muhammad Saw.
diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi Nabi
Muhammad Saw. sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali
melakukan tahannust dan khalwat di Gua Hira’ di samping untuk
mengasingkan diri dari masyarakat Makkah yang sedang mabuk mengikuti
hawa nafsu keduniaan. Tahannust dan khalwat Nabi adalah untuk mencari
ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia
yang kompleks tersebut. Proses khalwat Nabi yang kemudian disebut
tarekat tersebut sekaligus diajarkannya kepada Sayyidina Ali ra. sebagai
cucunya. Dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan
sahabat-sahabatnya sampai kepada para guru tarekat.
Suluk berarti berzikir terus-menerus
mengingat Allah SWT. Baik zikir ismal-dzat atau menyebut Allah, maupun
dzikir naif itsbat dengan menyebut La Ila Ha Illa Allah.
Dalam Tarekat Naqsyabandiyah, misalnya, zikir suluk terdapat 7
tingkatan. Mula-mula zikir dengan menyebut nama Allah dalam hati
sebanyak 5.000 kali sehari semalam. Berikutnya, jemaah menaikkan zikir
menjadi 6.000 kali sehari semalam. Kemudian setelah melaporkan perasaan
yang dialami dalam berzikir itu, maka dinaikkan zikirnya menjadi 7000.
Demikian seterusnya menjadi 8.000, 9.000 hingga 10.000 kali sehari
semalam.
Berikut ini adalah rangkuman ritual
berbagai wirid dan dzikir di beberapa tarekat sebagaimana yang pernah
dimuat di media pejalan ruhani yang dalam istilah tarekat disebut SULUK.
SULUK TAREKAT QODIRIYAH
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah
mursyid tarekat Qadiriyah. Sebagaimana dalam silsilah tarekat Qadiriyah
yang merujuk pada Sayyidina Ali ra. dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dan
seterusnya adalah dari Nabi Muhammad Saw., dari Malaikat Jibril dan
dari Allah SWT.
Tarekat Qadiriyah didirikan oleh Syaikh
Abdul Qadir al Jilani (wafat 561 H/1166M) yang bernama lengkap Muhy
al-Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibn Abi Shalih Zango Dost al-Jilani.
Lahir di Jilan tahun 470 H/1077 M dan wafat di Baghdad pada 561 H/1166
M. Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju Baghdad pada
tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah Nizhamiyah
Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al-Ghazali, yang menggantikan
saudaranya Abu Hamid al-Ghazali. Tapi, al-Ghazali tetap belajar sampai
mendapat ijazah dari gurunya yang bernama Syaikh Abu Yusuf al-Hamadani
(440-535 H/1048-1140 M) di kota yang sama itu sampai mendapatkan ijazah.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan
berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat
luas. Selama 25 tahun Syaikh Abdul Qadir al-Jilani menghabiskan waktunya
sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh
dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin
madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai
wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin
anaknya Syaikh Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya
Syaikh Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani, Syaikh Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai
hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Sejak itu tarekat Qadiriyah terus
berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria yang diikuti oleh jutaan umat
yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Namun
meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di
dunia pada abad ke 15 M. Di India misalnya, baru berkembang setelah
Syaikh Muhammad Ghawsh (w. 1517 M) juga mengaku keturunan Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani. Di Turki oleh Ismail Rumi (w 1041 H/1631 M) yang diberi
gelar (mursyid kedua). Sedangkan di Makkah, tarekat Qadiriyah sudah
berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qadiriyah ini dikenal luwes.
Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syaikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan
dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya.
Hal itu seperti tampak pada ungkapan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
sendiri, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi
mandiri sebagai syaikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk
seterusnya.”
Mungkin karena keluwesannya tersebut,
sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qadiriyah di
dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah
(1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), Miyan Khei (1550 M),
Qumaishiyah (1584), Hayat al-Mir, semuanya di India. Di Turki terdapat
tarekat Hindiyah, Khulusiyah, Nawshahi, Rumiyah (1631 M), Nablusiyah,
Waslatiyyah. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah,
‘Urabiyyah, Yafi’iyah (718-768 H/1316 M) dan Zayla’iyah. Sedangkan di
Afrika terdapat tarekat Ammariyah, Bakka’iyah, Bu’Aliyyah, Manzaliyah
dan tarekat Jilala, nama yang biasa diberikan masyarakat Maroko kepada
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani. Jilala dimasukkan dari Maroko ke Spanyol
dan diduga setelah keturunannya pindah dari Granada, sebelum kota itu
jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492 M dan makam mereka disebut
“Syurafa Jilala”.
Dari ketaudanan Nabi dan sahabat Ali ra.
dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tersebut, yang kemudian disebut
tarekat, maka tarekat Qadiriyah menurut ulama sufi juga memiliki tujuan
yang sama. Yaitu untuk mendekat dan mendapat ridho dari Allah SWT. Oleh
sebab itu dengan tarekat manusia harus mengetahui hal-ikhwal jiwa dan
sifat-sifatnya yang baik dan terpuji untuk kemudian diamalkan, maupun
yang tercela yang harus ditinggalkannya.
Misalnya dengan mengucapkan kalimat
tauhid, dzikir “Laa ilaha Illa Allah” dengan suara nyaring, keras
(dhahir) yang disebut (nafi istbat) adalah contoh ucapan dzikir dari
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani dari Sayidina Ali bin Abi Thalib ra.,
hingga disebut tarekat Qadiriyah. Selain itu dalam setiap selesai
melaksanakan shalat lima waktu (Dhuhur, Asar, Maghrib, Isya’ dan Subuh),
diwajibkan membaca istighfar tiga kali atau lebih, lalu membaca
shalawat tiga kali, Laa ilaha illa Allah 165 (seratus enam puluh lima)
kali. Sedangkan di luar shalat agar berdzikir semampunya.
Dalam mengucapkan lafadz Laa pada kalimat “Laa Ilaha Illa Allah”
kita harus konsentrasi dengan menarik nafas dari perut sampai ke otak.
Kemudian disusul dengan bacaan Ilaha dari arah kanan dan diteruskan
dengan membaca Illa Allah ke arah kiri dengan penuh konsentrasi,
menghayati dan merenungi arti yang sedalam-dalamnya, dan hanya Allah
SWT-lah tempat manusia kembali. Sehingga akan menjadikan diri dan
jiwanya tentram dan terhindar dari sifat dan perilaku yang tercela.
Menurut ulama sufi (al-Futuhat
al-Rubbaniyah), melalui tarekat mu’tabarah tersebut, setiap muslim dalam
mengamalkannya akan memiliki keistimewaan, kelebihan dan karomah
masing-masing. Ada yang terkenal sebagai ahli ilmu agama seperti sahabat
Umar bin Khattab ra., ahli syiddatil haya’ sahabat Usman bin Affan ra.,
ahli jihad fisabilillah sahabat Hamzah ra. dan Khalid bin Walid ra.,
ahli falak Zaid al-Farisi ra., ahli syi’ir Hasan bin Tsabit ra., ahli
lagu Al Qur’an sahabat Abdillah bin Mas’ud ra. dan Ubay bin Ka’ab ra.,
ahli hadis Abi Hurairah ra., ahli adzan sahabat Bilal ra. dan Ibni Ummi
Maktum ra., ahli mencatat wahyu dari Nabi Muhammad Saw. adalah sahabat
Zaid bin Tsabit ra., ahli zuhud Abi Dzarr ra., ahli fiqh Mu’ad bin Jabal
ra., ahli politik peperangan sahabat Salman al-Farisi ra., ahli
berdagang adalah Abdurrahman bin A’uf ra. dan sebagainya.
Untuk mengamalkan tarekat Qadiriyah,
harus melalui tahapan-tahan seperti; pertama, adanya pertemuan guru
(syaikh) dan murid, murid mengerjakan shalat dua raka’at (sunnah
muthalaq) lebih dahulu, diteruskan dengan membaca surat al-Fatihah yang
dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian murid duduk bersila di
depan guru dan mengucapkan istighfar, lalu guru mengajarkan lafadz Laa
ilaha Illa Allah, dan guru mengucapkan “infahna binafhihi minka” dan
dilanjutkan dengan ayat mubaya’ah (QS. Al-Fath 10).
Kemudian guru mendengarkan kalimat tauhid
(Laa Ilaha Illa Allah) sebanyak tiga kali sampai ucapan sang murid
tersebut benar dan itu dianggap selesai. Kemudian guru berwasiat,
membai’at sebagai murid, berdoa dan minum.
Kedua, tahap perjalanan. Tahapan kedua
ini memerlukan proses panjang dan bertahun-tahun. Karena murid akan
menerima hakikat pengajaran, ia harus selalu berbakti, menjunjung segala
perintahnya, menjauhi segala larangannya, berjuang keras melawan hawa
nafsunya dan melatih dirinya (mujahadah-riyadhah) hingga memperoleh dari
Allah seperti yang diberikan pada para nabi dan wali.
Tarekat (thariqah) secara harfiah berarti
“jalan” sama seperti syari’ah, sabil, shirath dan manhaj. Yaitu jalan
menuju kepada Allah guna mendapatkan ridho-Nya dengan mentaati
ajaran-Nya. Semua perkataan yang berarti jalan itu terdapat dalam Al
Qur’an, seperti QS. Al-Jin:16, “Kalau saja mereka berjalan dengan teguh
di atas thariqah, maka Kami (Allah) pasti akan melimpahkan kepada mereka
air (kehidupan sejati) yang melimpah ruah”.
Istilah thariqah dalam perbendaharaan
kesufian, merupakan hasil makna semantik perkataan itu, semua yang
terjadi pada syari’ah untuk ilmu hukum Islam. Setiap ajaran
esoterik/bathiniah mengandung segi-segi eksklusif. Jadi, tak bisa dibuat
untuk orang umum (awam). Segi-segi eksklusif tersebut misalnya
menyangkut hal-hal yang bersifat “rahasia” yang bobot keruhaniannya
berat, sehingga membuatnya sukar dimengerti. Oleh sebab itu mengamalkan
tarekat itu harus melalui guru (mursyid) dengan bai’at dan guru yang
mengajarkannya harus mendapat ijazah, talqin dan wewenang dari guru
tarekat sebelumnya. Seperti terlihat pada silsilah ulama sufi dari
Rasulullah Saw., sahabat, ulama sufi di dunia Islam sampai ke ulama sufi
di Indonesia.
Dalam dunia tasawuf, olah spiritual
riyadhah memiliki dimensi yang sangat luas. Apalagi olah spiritual itu
menyangkut dimensi yang tak tersentuh oleh indera. Jiwa, hati, dan nafsu
adalah merupakan satu dari rahasia Allah yang terus coba digali oleh
para pencari kebenaran.
Banyak bentuk diungkapkan guna
memperjelas jalan dan mempertegas alur menuju kemurnian tauhid dan
ketulusan ubudiyah. Termasuk ikhtiar yang dilakukan melalui berbagai
bentuk untuk mendapatkan hakikat makna kehidupan dan arti hubungan
antara seorang hamba dan Sang Khalik.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, yang
dijuluki pemimpin para wali Allah (quthb al-auliya), menuangkan gagasan
dan hasil kontemplasi dalam salah satu kitabnya yang bertajuk Al-Fath
Ar-Rabbani Wa Al-Faidl Ar-Rahmani.
Kitab ini memuat tentang olah spiritual
dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT. Nasehat-nasehat yang tertuang
dalam 62 dua majelis. Tema-tema yang diangkat berputar pada cara
mengelola dan mendidik jiwa, hawa nafsu, dan membersihkan hati.
Perkara yang perlu ditekankan pertama
kali adalah memahami arti tauhid yang merupakan inti dari ajaran agama.
Al-Jailani menegaskan, berpaling kepada Allah SWT ketika takdir turun
berarti ketiadaan agama, tauhid nihil, dan sirnalah arti tawakal dan
keikhlasan. Akal manusia tidak mampu mencerna bagaimana dan kenapa Allah
menakdirkan sesuatu kepada hamba-Nya. Bahkan, seringkali akal sehat dan
hati kecil manusia menentang dan tidak rela dengan ketentuan yang telah
diberikan kepadanya.
Oleh karena itu, Al-Jailani memberikan
nasehat agar terhindar dari keburukan nafsu dengan cara terus melatih
dan menempanya. Tatkala nafsu berhasil ditaklukkan maka segalanya akan
menjadi baik dan berada dalam koridor kebaikan selalu. Nafsu pun akan
selaras dengan segala bentuk ketaatan dengan meninggalkan maksiat.
Sebagaiman firman Allah, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (QS. Al-Fajr: 27- 28).
Al-jailani meminta agar tetap menjaga
kemurnian hati, jika hati baik maka seluruh tindakan akan baik pula
seperti yang disabdakan Rasulullah dalam hadis berikut: “Ada segumpal
darah di tubuh anak Adam yang apabila dia baik, maka seluruh jasadnya
akan baik pula. Dan jika hatinya rusak, maka rusaklah semua jasadnya,
yaitu hati.” Agar hati selalu terjaga maka ketakwaan, tawakal, tauhid
dan ikhlas beramal untuk Allah semata penting ditekankan. Selama perkara
tersebut ditanamkan maka niscaya hati akan terhindar dari kerusakan.
SULUK TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Seperti tarekat-tarekat yang lain,
Tarekat Naqsyabandiyah juga mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan,
teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan
bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual,
sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau
“marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan
orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.
Tarekat Naqsyabandiyah, sebagai tarekat
terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan
penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah
mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan
aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi
karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah
memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta
para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan
tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan
mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu
diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.
Pada zaman Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq
ra. hingga zaman Syaikh Abu Yazid al-Busthami, tarekat ini dikenal
dengan nama Shiddiqiyyah, amalan khususnya adalahdzikir khafi (dzikir
dalam hati). Ketika dikenal dengan nama Taifuriyah, tarekat ini
mengedepankan tema khusus yakni cinta dan makrifat. Periode setelahnya,
Khwajaganiyah, Tarekat Naqsyabandiyah diperkuat dengan delapan asas yang
dirumuskan oleh Syaikh ‘Abd al-Khaliq Ghujdawani. Lalu, pada zaman
ketika Naqsyabandiyah mulai menjadi nama tarekat ini, Syaikh Baha’uddin
Naqsyabandimenambahkan 3 asas lagi. Asas-asas ini disebutkan satu per
satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para
penganut Khalidiyah, Jami al-‘Ushul Fi al-‘Auliya. Kitab karya Syaikh
Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh
tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Syaikh Muhammad
Amin al-Kurdi, dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih
dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip
dengan uraian Syaikh Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Syaikh
Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas
dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan
kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
Asas-asasnya Syaikh ‘Abd al-Khaliq adalah:
- Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”
Suatu latihan konsentrasi: sufi yang
bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas,
dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas
dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan
membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian
berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
- Nazar bar qadam: “menjaga langkah”
Sewaktu berjalan, sang murid haruslah
menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan,
demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh
segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
- Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”
Melakukan perjalanan batin, yakni
meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju
kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan
penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk
mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah
dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
- Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”
Berbagai pengarang memberikan bermacam
tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche askese” dalam
sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa,
anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan
asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir
tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah
keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut
serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu
yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’.
Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik
dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
- Yad kard: “ingat”, “menyebut”
Terus-menerus mengulangi nama Allah,
dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir
lainnya yang diberikan oleh seorang guru, dalam hati atau dengan lisan.
Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan
sebatas berjama’ah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus
terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang
permanen.
- Baz gasyt: “kembali”, “memperbarui”
Demi mengendalikan hati supaya tidak
condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus
membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara
dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku,
Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu
mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di
hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan
semata.
- Nigah dasyt: “waspada”
Yaitu menjaga pikiran dan perasaan
terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar
pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan
Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai
dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim):
“Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua
puluh tahun.”
- Yad dasyt: “mengingat kembali”
Penglihatan yang diberkahi: secara
langsung menangkap Dzat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan
nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan
beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini
ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani
tertinggi yang bisa dicapai.
Asas-asas Tambahan dari Syaikh Baha’uddin Naqsyabandi:
- Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu”
Mengamati secara teratur bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini
dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara
terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan
terpuji, hendaklah berterima kasih kepada Allah, jika seseorang tidak
ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia
meminta ampun kepada-Nya.
- Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir”
Dengan hati-hati beberapa kali seseorang
mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana).
Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan
sebelumnya.
- Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”
Dengan membayangkan hati seseorang (yang
di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah,
maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan
demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan
maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan
nama Allah terukir di atasnya.
Di luar semua asas tersebut, terdapat
pula dua kaidah jalan yang diperkenalkan para masyayikh tarekat setelah
itu sebagai bekal perjalanan mencapai kebenaran hakiki. Keduanya adalah
tarekat nafsani dan tarekat ruhani. Tarekat nafsani, mengambil
pendekatan dengan mendidik diri dan menundukkan ke-aku-an, yakni ego
yang ada dalam diri manusia. Dalam mengamalkan tarekat ini, seseorang
harus melakukan segala sesuatu yang berlawanan dengan kehendak ego.
Karenanya ia dimaknai sebagai perang atau jihad dalam diri seorang
mukmin. Sedangkan tarekat ruhani berarti pensucian ruh. Hal itu
dimaksudkan agar ruh yang telah disucikan mengenali hakikat diri yang
sebenarnya, sehingga ego akan menuruti dan mentaatinya.
Tarekat Naqsyabandiyah memiliki tujuan
menjadi kekal berkepanjangan dalam memperhambakan diri secara lahir dan
batin, serta dalam menghadirkan Allah ke dalam hati. Para sufi yang
mengamalkan tarekat ini tidak bertujuan menjadi mulia, kaya, sakti, dan
sebagainya, melainkan untuk mendekatkan diri dan mengharap ridha Allah
semata.
Dzikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti
kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut
nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan
itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan
permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya
dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam
(khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari
dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua,
jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat
Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara
berjama’ah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganutNaqsyabandiyah lebih
sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang
tinggal dekat seseorang syaikh cenderung ikut serta secara teratur dalam
pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjama’ah. Di banyak
tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam
Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali
seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.
Secara keseluruhan, ajaran tarekat
Naqsyabandiyah terdiri dari 17 tingkat mata pelajaran. Ke-17 tingkat
mata pelajaran tersebut adalah;
- Dzikir Ismu Dzat: “mengingat yang Haqiqi”
Pengucapan asma Allah berulang-ulang
dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan
perhatian kepada Allah semata.
- Dzikir Latha’if: “mengingat Asma Allah pada tujuh titik halus pada tubuh”
Seseorang yang berdzikir memusatkan
kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan
panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik
ini, lathifah (jamak latha’if), adalah;
– qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri
– ruh (jiwa), selebar dua jari di bawah puting susu kanan
– sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas puting susu kiri
– khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan
– akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada
– nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama
– kullu jasad, luasnya meliputi seluruh
tubuh, bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan
lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam Asma Allah.
- Dzikir Nafi Itsbat: “mengingat keesaan”
Bacaan perlahan disertai dengan
pengaturan nafas, kalimat La Ilaha Illallah, yang dibayangkan seperti
menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi La permulaan digambar dari
daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke
kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, Illa
dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke
arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang
membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara,
memusnahkan segala kotoran.
- Dzikir Wuquf: “diam dengan semata-mata mengingat Allah”
Mengingat Dzat Allah yang bersifat dengan
segala sifat sempurna dan suci, atau jauh dari segala sifat kekurangan.
Dzikir Wuquf ini dirangkaikan setelah selesai melaksanakan dzikir Ismu
Dzat atau dzikir Latha’if, atau dzikir Nafi Itsbat. Pelaksanaan dzikir
Wuquf ini sebelum menutup dzikir-dzikir tersebut.
- Dzikir Muraqabah Ithla’
Seseorang berdzikir dan ingat kepada
Allah SWT bahwa Ia mengetahui keadaan-keadaannya dan melihat
perbuatan-perbuatannya, serta mendengar perkataan-perkataannya.
- Dzikir Muraqabah Ahadiyatul Af’al
Berkekalannya seorang hamba menghadap
serta memandang Allah SWT yang memiliki sifat sempurna serta bersih dari
segala kekurangan, serta Maha Berkehendak.
- Dzikir Muraqabah Ma’iyah
Berkekalannya seorang hamba yang bertawajjuh serta memandang kepada Allah SWT yang mengintai di mana saja hamba itu berada.
- Dzikir Muraqabah Aqrabiyah
Keadaan mengingat betapa dekatnya Allah dengan hamba-Nya.
- Dzikir Muraqabah Ahadiyatuzzati
Mengingat sifat Allah yang esa dan menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu.
- Dzikir Muraqabah Zatissyarfi wal Bahti
Berkaitan dengan sumber timbulnya kesempurnaan kenabian, kerasulan dan ‘ulul azmi, yakni dari Allah semata.
- Maqam Musyahadah
Kondisi di mana seseorang berdzikir seolah-olah dalam tahap berpandang-pandangan dengan Allah.
- Maqam Mukasyafah
Kondisi di mana seolah terbuka rahasia
ketuhanan bagi seseorang yang berdzikir. Bila berdzikir pada maqam ini
dilaksanakan dengan baik, sempurna, dan ikhlas, maka seorang hamba akan
memperoleh hakikat kasyaf dan rahasia-Nya.
- Maqam Muqabalah
Dalam tahap berhadap-hadapan dengan wajah Allah yang wajibul wujud.
- Maqam Mukafahah
Tahap ruhaniah seseorang yang berdzikir
berkasih sayang dengan Allah. Dalam maqam ini, kecintaan pada selain
Allah telah hilang sama sekali.
- Maqam Fana’ Fillah
Kondisi di mana rasa keinsanan seseorang melebur ke dalam rasa ketuhanan, serta secara fana melebur dalam keabadian Allah.
- Maqam Baqa’ Billah
Pencapaian tahap dzikir, di mana kehadiran hati seorang hamba hanya bersama Allah semata.
- Tahlil Lisan
Melaksanakan dzikir Nafi Itsbat yang
diucapkan secara kedengaran, atau jahar. Dzikir Tahlil Lisan ini
dilaksanakan pada waktu-waktu yang telah ditetapkan oleh syaikh mursyid.
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir;
pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah
dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk
memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad Saw., dan membacanya dalam
hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan
memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan
mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus
untuk dirinya sendiri oleh syaikhnya, untuk diamalkan secara rahasia
(diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau
seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan.
Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik.
Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum
Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai
aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya,
sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Syaikh Ali Hamadani,
seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum
Naqsyabandiyah.
SULUK TAREKAT TIJANIYAH
Sejauh ini Syaikh Ahmad at-Tijani tidak
meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya.
Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam bentuk buku-buku
karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani
fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a
at-Tijani min al-Ahzab, dan As-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani.
Dua kitab yang disebut pertama ditulis langsung oleh murid at-Tijani
sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan
masuk ke dalam Tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Meskipun at-Tijani menentang keras
pemujaan terhadap wali pada upacara peringatan hari tertentu, dan
bersimpati kepada gerakan reformis kaum Wahabi, tetapi dia sendiri tidak
menafikan perlunya wali (perantara) tersebut. At-Tijani sangat
menekankan perlunya perantara (wali) antara Tuhan dan manusia, yang
berperan sebagai wali zaman. Oleh karena itu, buku panduan Tijani
kalimatnya dimulai dengan, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan
sarana kepada segala sesuatu dan menjadikan sang Syaikh perantara
sarana untuk manunggal dengan Allah”. Dalam hal ini, perantara itu tak
lain adalah dia sendiri dan penerusnya. Dan sebagaimana tarekat lain,
tarekat ini juga menganjurkan agar anggotanya mengamalkan ajaran dengan
menggambarkan wajah syaikh dalam ingatan mereka (rabithah), dan
mengikuti seluruh nasehat syaikh dengan tenang.
Tarekat Tijaniyah mempunyai wirid yang
sangat sederhana dan wadhifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari
Istighfar, Shalawat dan Tahlil yang masing-masing dibaca sebanyak 100
kali. Boleh dilakukan dua kali dalam sehari, setelah shalat Shubuh dan
Ashar. Wadhifahnya terdiri dari Istighfar (astaghfirullah al-adzim
alladzi laa ilaha illa huwa al hayyu al-qayyum) sebanyak 30 kali,
Shalawat Fatih (Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad al-fatih lima
ughliqa wa al-khatim lima sabaqa, nasir al-haqq bi al-haqq wa al-hadi
ila shirat al-mustaqim wa’ala alihi haqqaqadruhu wa miqdaruh al-adzim)
sebanyak 50 kali, Tahlil (La ilaaha illallah) sebanyak 100 kali, dan
ditutup dengan doa Jauharatul Kamal sebanyak 12 kali.
Pembacaan wadhifah ini juga paling
sedikit dua kali sehari semalam, yaitu pada sore dan malam hari, tetapi
lebih afdlal dilakukan pada malam hari. Selain itu, setiap hari Jum’at
membaca Haylalah, yang terdiri dari dzikir tahlil dan Allah, Allah..
setelah shalat Ashar sampai matahari terbenam. Dalam hal dzikir ini,
at-Tijani menekankan dzikir cepat secara berjama’ah. Beberapa syarat
yang ditekankan tarekat ini untuk prosesi pembacaan wirid dan wadhifah:
berwudlu, bersih badan, pakaian dan tempat, menutup aurat, tidak boleh
berbicara, berniat yang tegas, serta menghadap kiblat.
Satu hal yang penting dicatat dari dzikir
Tarekat Tijaniyah — yang membedakannya dengan tarekat lain — adalah
bahwa tujuan dzikir dalam tarekat ini, sebagaimana dalam Tarekat
Idrisiyyah, lebih menitikberatkan pada kesatuan dengan ruh Nabi Muhammad
Saw., bukan kemanunggalan dengan Tuhan, hal mana merupakan perubahan
yang mempengaruhi landasan kehidupan mistik. Oleh karena itu, anggota
tarekat ini juga menyebut tarekat mereka dengan sebutan At-Thariqah
Al-Muhammadiyyah atau At-Thariqah al-Ahmadiyyah, termanya merujuk
langsung kepada nama Nabi Muhammad Saw. Akibatnya, jelas tarekat ini
telah memunculkan implikasi yang ditandai dengan perubahan-perubahan
mendadak terhadap asketisme dan lebih menekankan pada
aktivitas-aktivitas praktis. Hal ini tampak sekali dalam praktik mereka
yang tidak terlalu menekankan pada bimbingan yang ketat, dan penolakan
atas ajaran esoterik, terutama ekstatik dan metafisis sufi.
Berikut petikan dari kitab As-sirr
al-Abhar Ahmad at-Tijani yang menyangkut berbagai tata tertib, aturan
dan dzikir dalam tarekat ini:
“Anda haruslah seorang muslim dewasa
untuk melaksanakan awrad, sebab hal (awrad) itu adalah karya Tuhannya
manusia. Anda harus meminta izin kepada orang tua sebelum mengambil
thariqah, sebab ini adalah salah satu sarana untuk wushul kepada Allah.
Anda harus mencari seseorang yang telah memiliki izin murni untuk
mentasbihkan Anda ke dalam awrad, supaya Anda dapat berhubungan baik
dengan Allah.
Anda sebaiknya terhindar sepenuhnya dari
awrad lain manapun selain awrad dari Syaikh Anda, sebab Tuhan tidak
menciptakan dua hati di dalam diri Anda. Jangan mengunjungi wali
manapun, yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, sebab tidak
seorang pun dapat melayani dua mursyid sekaligus. Anda harus disiplin
dan menjalankan shalat lima waktu dalam jamaah dan disiplin dalam
menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at, sebab semua itu telah
ditetapkan oleh makhluk terbaik (Nabi Muhammad Saw.). Anda harus
mencintai Syaikh dan khalifahnya selama hidup Anda, sebab bagi makhluk
biasa cinta semacam itu adalah sarana untuk kemanunggalan: dan jangan
berfikir bahwa Anda mampu menjaga diri Anda sendiri dari Kreativitas
Tuhan Semesta, sebab ini adalah salah satu ciri dari kegagalan.
Anda dilarang untuk memfitnah, atau
menimbulkan permusuhan terhadap Syaikh Anda, sebab hal itu akan membawa
kerusakan pada diri Anda. Anda dilarang berhenti untuk melantunkan awrad
selama hidup Anda, sebab awrad itu mengandung misteri-misteri Sang
Pencipta. Anda harus yakin bahwa Syaikh mengatakan kepada Anda tentang
kebijakan-kebijakan, sebab itu semua termasuk ucapan-ucapan Tuhan Yang
Awal dan Yang Akhir.
Anda dilarang mengkritik segala sesuatu
yang tampak aneh dalam thariqah ini, atau Penguasa Yang Adil akan
mencabut Anda dari kebijakan-kebijakan.
Jangan melantunkan wirid Syaikh kecuali
sesudah mendapat izin dan menjalani pentasbihan (talqin) yang
selayaknya, sebab itu keluar dalam bentuk ujaran yang lugu. Berkumpullah
bersama untuk wadhifah dan dzikir Jum’at dengan persaudaraan, sebab itu
adalah penjagaan terhadap muslihat syetan. Anda dilarang membaca
Jauharat al-Kamal kecuali dalam keadaan suci dari hadats, sebab Nabi
Muhammad Saw. akan hadir dalam pembacaan ketujuh.
Jangan menginterupsi (pelantunan yang
dilakukan oleh) siapa pun, khususnya oleh sesama sufi, sebab interupsi
semacam itu adalah cara-cara syetan. Jangan kendur dalam wirid Anda, dan
jangan pula menundanya dengan dalih apa pun atau yang lain, sebab
hukuman akan jatuh kepada orang yang mengambil wirid lantas meninggalkan
sama sekali atau melupakannya, dan dia akan menjadi hancur. Jangan
pergi dan mengalihkan awrad tanpa izin yang layak untuk malakukan itu,
sebab orang yang melakukan hal itu dan tidak bertaubat niscaya akan
sampai kepada kejahatan dan kesengsaraan akan menimpanya. Anda dilarang
memberitahukan wirid kepada orang lain kecuali saudara Anda dalam
thariqah, sebab itu adalah salah satu pokok etika sains spiritual”.
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih
doa kekuatan khusus, misalnya Hizb al-Bahr milik Tarekat Syadziliyah,
Subhan ad-Daim Isawiyah, Wirid as-Sattar milik Khalwatiyah, Awrad
Fathiyyah milik Hamadaniyyah, dan lain-lain. Ciri khusus dari dzikir dan
wirid yang menjadi andalan milik penuh tarekat ini adalah Shalawat
Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai Shalawat Fatih, Syaikh Ahmad
at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah diperintahkan untuk mengucapkan
doa-doa ini oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri. Meskipun pendek, doa itu
dianggap mengandung kebaikan dalam delapan jenis: orang yang membaca
sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca
sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua
doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa, yang pendek
maupun yang panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang
membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding
yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun
tetapi tidak pernah mengucapkannya. Mengucapkannya sekali setara dengan
doa seluruh malaikat, manusia, jin sejak awal penciptaan mereka sampai
masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua
kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang
pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua, dan
seterusnya.
Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga
diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. sendiri kepada Syaikh Ahmad at-Tijani,
para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ketujuh
Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya,
Nabi Muhammad Saw. beserta keempat sahabat atau khalifah Islam hadir
memberikan kesaksian pembacaan itu. Wafatnya Nabi Muhammad Saw. tidaklah
menjadi tirai yang menghalangi untuk selalu hadir dan dekat kepada
mereka. Bagi at-Tijani dan anggota tarekatnya, tidak ada yang aneh dalam
hal kedekatan ini. Sebab wafatnya Nabi Muhammad Saw. hanya mengandung
arti bahwa Beliau tidak lagi dapat dilihat oleh semua manusia, meskipun
Beliau tetap mempertahankan penampilannya sebelum Beliau wafat dan tetap
ada di mana-mana: dan Beliau muncul dalam impian atau di siang hari di
hadapan orang yang disukainya.
Akan tetapi kaum muslim ortodoks
membantah penyataan Syaikh Ahmad at-Tijani dan para pengikutnya yang
menyangkut pengajaran Nabi Muhammad Saw. ini kepadanya. Sebab jika Nabi
Muhammad Saw. secara pribadi mengajari at-Tijani rumusan-rumusan doa
tertentu maka itu berarti bahwa Nabi Muhammad Saw. telah “wafat” tanpa
menyampaikan secara sempurna pesan kenabiannya, dan mempercayai hal ini
sama dengan tindak kekafiran, kufr.
Tentu saja, alasan kaum muslim ortodoks
ini masih bisa diperdebatkan, misalnya tanpa bermaksud membela tarekat
ini dengan mempertanyakan kembali, apakah betul pengajaran Nabi Muhammad
Saw. melalui mimpi itu berarti mengurangi kesempurnaan kenabiannya?
Bukankah substansi dari pengajaran itu lebih tertuju kepada perintah
bershalawat yang masih dalam bingkai pesan kenabian (syari’at), dan
bukan merupakan hal yang baru? Bukankah Nabi Muhammad Saw. pernah
bersabda bahwa mimpi seorang mukmin seperempat puluh enam dari kenabian?
Menyangkut pahala pembacaannya, bukankah rahmat dan anugerah Allah yang
tak terhingga akan tercurahkan kepada umat Islam yang senantiasa
mewiridkan shalawat kepada sang hamba paripurna, kekasih dan pujaan-Nya,
Muhammad Rasulullah Saw?
SULUK TARIKAT KHALWATIYAH
Ajaran tarekat sufi yang disampaikan oleh
Syaikh Musthafa ibn Kamal Al-Din Al-Bakri banyak diambil dari sang
guru, Syaikh Abdul Latif bin Syaikh Husamuddin Al-Halabi. Berbagai
ritual yang dijalankan oleh Syaikh Abdul Latif telah memberi pengaruh
pada pemikiran ataupun praktik kehidupan Al-Bakri sehari-hari. Tiga
unsur dalam ajaran Al-Bakri-lah yang barangkali turut memberi andil
dalam menghidupkan kembali Tarekat Khalwatiyah.
Ketiga unsur tersebut adalah tuntutan
kepatuhan yang eksklusif pada tarekat dan disiplin yang ketat dalam
menjalankan amalan Khalwatiyah; partisipasi orang awam dalam ritual
tarekat; dan ketaatan pada syari’at.
Sebagai tarekat yang berorientasi pada
syari’at, Khalwatiyah menekankan penggabungan pengetahuan (‘ilm) dan
praktik (‘amal). Ia juga menuntut pengikatan hati (rabth al-qalb)
seorang murid kepada guru (syaikh) sedemikian rupa sehingga hubungan
antara keduanya harus lebih erat daripada hubungan antara seorang ayah
dan anak.
Selain melakukan khalwah (mengasingkan
diri), berbagai amalan praktis lainnya yang diajarkan dalam Khalwatiyah
adalah berdiam diri (shamt), menjaga diri (sahar), mengingat Allah SWT
(dzikir), dan membaca secara berjama’ah (wirid alsattar). Wirid ini
merupakan pusat dan puncak ritual Khalwatiyah.
Seperti tarekat sufi lainnya, Tarekat
Khalwatiyah juga mengenal sebuah amalan yang disebut Al-Asma’ As-Sab’ah
(tujuh nama). Yakni, tujuh macam dzikir atau tujuh tingkatan jiwa yang
harus dibaca oleh setiap murid (salik).
Dzikir pertama adalah La Ilaaha Illallah
(pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah SWT). Dzikir pada tingkat
pertama ini disebut an-Nafs al-Ammarah (nafsu yang bermuara pada
keburukan dan amarah). Jiwa pada tingkatan ini dianggap sebagai jiwa
yang paling kotor dan selalu menyuruh pemiliknya untuk melakukan
perbuatan dosa dan maksiat, seperti mencuri, berzina, membunuh, dan
sebagainya.
Kedua, Allah SWT. Pada tingkatan kedua
ini disebut an-Nafs al-Lawwamah (jiwa yang menegur). Jiwa ini dianggap
sebagai jiwa yang sudah bersih dan selalu menyuruh kebaikan-kebaikan
pada pemiliknya serta menegurnya jika ada keinginan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan buruk.
Ketiga, Huwa (Dia). Dzikir pada tingkatan
ketiga ini disebut an-Nafs al-Mulhamah (jiwa yang terilhami). Jiwa ini
dianggap yang terbersih dan telah diilhami oleh Allah SWT sehingga bisa
memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Keempat, Haq (Maha Benar). Tingkatan jiwa
ini disebut an-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang). Jiwa ini,
selain bersih, juga dianggap tenang dalam menghadapi segala problem
hidup ataupun guncangan jiwa lainnya.
Kelima, Hayy (Maha Hidup). Dzikir pada
tingkatan ini disebut juga dzikir an-Nafs ar-Radliyah (jiwa yang ridha).
Jiwa ini semakin bersih, tenang, dan ridha (rela) terhadap apa yang
menimpa pemiliknya, karena semua itu semata-mata pemberian Allah SWT.
Keenam, Qayyum (Maha Jaga). Tingkatan
jiwa ini disebut juga an-Nafs Mardliyah (jiwa yang diridhai). Jiwa ini
semakin bersih, tenang, dan ridha terhadap semua pemberian Allah SWT
serta juga mendapatkan keridhaan-Nya.
Ketujuh, Qahhar (Maha Perkasa). Jiwa ini
disebut juga an-Nafs al-Kamilah (jiwa yang sempurna). Dan, inilah jiwa
terakhir atau puncak jiwa yang paling sempurna yang akan terus mengalami
kesempurnaan selama hidup pemiliknya.
Inti dari tujuh tingkatan dzikir tersebut
didasarkan kepada ayat-ayat Al Qur’an. Tingkatan pertama didasarkan
pada Surah Yusuf ayat 53, ”Sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
keburukan.” Tingkatan kedua dari Surah Al-Qiyamah ayat 2, ”Dan, Aku
tidak bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali.”
Tingkatan ketiga dari Surah As-Syams ayat
7 dan 8, ”Demi jiwa dan yang menyempurnakannya. Allah SWT mengilhami
jiwa tersebut kejahatan dan ketakwaannya.”
Tingkatan keempat dari Surah Al-Fajr ayat
27, ”Wahai jiwa yang tenang.” Tingkatan kelima dan keenam dari Surah
Al-Fajr ayat 28, ”Kembalilah kepada Tuhanmu dengan keridhaan dan
diridhai.”
Sementara itu, untuk tingkatan ketujuh
yang sudah sempurna atau yang berada di atas semua jiwa, secara
eksplisit tidak ada dalam Al Qur’an karena kitab suci ini seluruhnya
merupakan kesempurnaan dari semua dzikir dan jiwa pemiliknya.
SULUK TARIKAT SYATARIYAH
Bila menyebut sebuah ajaran tarekat, yang
paling banyak diajarkan dalam ritualnya adalah dzikir. Dan dzikir
adalah salah satu amalan yang paling utama dalam sebuah tarekat. Dalam
salah satu hadisnya, Rasulullah Saw. bersabda, ”Ketahuilah bahwa
sesungguhnya dzikir itu akan menenangkan hati. Sebaik-baik dzikir adalah
dengan membaca Laa Ilaha Illallah.”
Karena itulah, dzikir dan wirid, untuk
mendekatkan diri kepada Allah, menjadi hal yang paling utama dalam
sebuah tarekat. Demikian halnya dengan Tarekat Syattariyah. Dalam ajaran
dan ritualnya, tarekat ini juga banyak melafalkan kalimat-kalimat
tauhid dan Asmaul Husna sebagai bagian dari wirid dan dzikir.
Para pengikut tarekat ini akan mencapai
tujuan-tujuan mistik (kesufian) melalui kehidupan asketisme atau zuhud.
Untuk menjalaninya, seseorang terlebih dahulu harus mencapai
kesempurnaan pada tingkat akhyar (orang-orang terpilih) dan abrar
(orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir.
Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan
untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan
Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Tarekat
Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah SWT itu sebanyak gerak
nafas makhluk, tetapi yang paling utama di antaranya adalah jalan yang
ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Ketiga kelompok tersebut
memiliki metode masing-masing dalam berdzikir dan bermeditasi untuk
mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan terhadap Allah
SWT.
Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani
shalat dan puasa, membaca Al Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad.
Sedangkan, kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan
zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan,
dan berusaha selalu menyucikan hati. Menurut para tokoh Tarekat
Syattariyah, jalan tercepat untuk sampai kepada Allah SWT adalah jalan
yang ditempuh oleh kaum Syattar karena mereka memperoleh bimbingan
langsung dari roh para wali.
Ada sepuluh aturan yang harus dilalui
untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu tobat, zuhud, tawakal, qana’ah,
uzlah, muraqabah, sabar, ridha, dzikir, dan musyahadah (menyaksikan
keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT). Dzikir dalam Tarekat
Syattariyah terbagi dalam tiga kelompok yang semuanya menitikberatkan
pada pelafalan Asma’ul Husna (nama-nama Allah SWT). Ketiga kelompok
tersebut menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keagungan-Nya, menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keindahan-Nya, dan menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan
dari kedua sifat tersebut.
Para pengikut ajaran Tarekat Syattariyah
meyakini bahwa menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keagungan-Nya akan menjadikan seorang salik (murid) lebih tunduk
kepada-Nya. Nama-nama yang dimaksud adalah Al-Qahhar, Al-Jabbar,
Al-Mutakabbir. Setelah merasakan dirinya semakin tunduk kepada Allah
SWT, murid dapat menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keindahan-Nya, yaitu Al-Malik, Al-Quddus, dan Al-Alim. Sedangkan,
nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan kedua sifat tersebut di atas
adalah Al-Mukmin dan Al-Muhaimin.
Menurut aturan Tarekat Syattariyah,
pelafalan dzikir dengan menyebut nama-nama Allah SWT harus dilakukan
secara berurutan. Artinya, terlebih dahulu menyebut nama-nama yang
berhubungan dengan keagungan-Nya, kemudian diikuti dengan nama-nama yang
berhubungan dengan keindahan-Nya, dan nama-nama yang merupakan gabungan
kedua sifat tersebut.
Proses ini dilakukan secara terus-menerus
dan berulang-ulang hingga hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam
berdzikir. Apabila hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat
merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun
ruhani.
Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam
dzikir muqaddimah, sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam
Tarekat Syattariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada
manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk
kembali dan sampai ke Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh
nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
- Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu
kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan
nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan
illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira
dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
- Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan
lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya,
illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya
Asma Allah.
- Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
- Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan
ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya
hidup dan kehidupan manusia.
- Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah
diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak,
markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari
oleh Cahaya Ilahi.
- Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil
dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini
dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi
sebagai insan Cahaya Ilahi.
- Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan
dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada
menuju ke arah kedalaman rasa.
Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan
kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan,
dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap
adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang
harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
- Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut:
Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
- Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat
nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak
tahu kewajiban.
- Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu
kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah
lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
- Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah
susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah,
syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
- Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
- Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya:
berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan
makhluk.
- Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin.
Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni;
- a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan
keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan
lain-lain.
- b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain.
- c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua
sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain. Ketiga
jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan
yang disebutkan di atas.
Dzikir ini dilakukan secara terus menerus
dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam
berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat
merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun
ruhani.
Satu hal yang harus diingat, sebagaimana
juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat
dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau
syaikh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai
pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan
tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang
yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa
diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum
dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi
Muhammad Saw. lewat Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan
seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub;
dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk),
murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna
dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting
untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai
berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal;
selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara;
setia terhadap guru atau syaikhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT;
selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di
suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh
kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari
pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat,
mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari
rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang
terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias
dan memakai pakaian berjahit.
Sanad atau Silsilah Tarekat Syattariyah
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat
ini memiliki sanad atau silsilah para wasithahnya yang bersambungan
sampai kepada Rasulullah Saw. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa
Nabi Muhammad Saw., atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Sayyidina Ali bin
Abi Thalib ra. untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl
adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan
risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali ra.,
dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini
tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan
pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya
diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan,
sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw. sebelum melimpahkan
kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra.
Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia:
Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali
bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam
Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja’far Syidiq,
kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada
Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb
Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada
Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah
asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj
al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada
Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah
Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf
Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai
Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida’
(Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman
(Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai
Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi
(Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati),
kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya
(Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada
Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo
Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam
Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari
(Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
SULUK TARIKAT RIFA’IYAH
Setiap tarekat memiliki amalan dzikir
atau wirid. Dzikir dan wirid ini merupakan amalan ‘pokok’ yang harus
dilaksanakan oleh setiap anggotanya.
Dalam keseharian, mereka harus menjalankan praktik dzikir atau wirid ini. Umumnya, hal itu dilaksanakan setelah shalat fardhu.
Tentu saja, wirid dan dzikir antara satu
tarekat dengan lainnya berbeda-beda. Termasuk dalam hal ‘lelaku’ atau
gerakan dzikir ini.
Namun, satu hal yang menjadi kesamaan
hampir dalam seluruh tarekat adalah dzikir kalimat tahlil, yakni La
ilaha illallah (Tiada Tuhan kecuali Allah). Kalimat ini senantiasa
dibaca secara berulang-ulang.
Bentuk lainnya berupa dzikir vokal yang
diucapkan secara teratur oleh kaum Rifa’iyah dalam zawiyah mereka. Dalam
beberapa cabang Rifa’iyah, para pengikut mengucapkan berbagai doa dan
selalu melafalkan nama-nama Allah (Asma’ul Husna). Misalnya, Allah, Hu
(Dia), Hayy (Yang Hidup), Haqq (Yang Nyata), Qayyum (Yang Mandiri),
Rahman (Yang Pengasih), Rahim (Yang Penyayang), dan lainnya.
Ciri khas Tarekat Rifa’iyah terletak pada
dzikirnya. Dzikir kaum Rifa’iyah ini disebut ‘darwis melolong’ karena
dilakukan bersama-sama dan diiringi oleh suara gendang yang
bertalu-talu. Dzikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu
keadaan.
Saat itu, mereka dapat melakukan
perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, misalnya berguling-guling dalam
bara api, tetapi tidak terbakar sedikit pun.
Sebelumnya, menurut John L Esposito dalam
Ensiklopedia Oxford: Dunia Islam Modern, sebagian kaum Rifa’iyah
terkenal karena mengikutkan praktik upacara, seperti menusuk kulit
dengan pedang dan makan kaca.
Praktik seperti ini menyebar bersama
Tarekat Rifa’iyah hingga ke kepulauan Melayu. Namun, pada masa kini,
praktik-praktik tersebut tidak lagi dijalankan oleh para pengikut
Rifa’iyah karena dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya.
Di wilayah Sumatera, para pengikut
Rifa’iyah memainkan dabus, yaitu menikam diri dengan sepotong senjata
tajam yang diiringi dengan dzikir-dzikir tertentu. Dabus dalam bahasa
Arab artinya besi yang tajam.
Christian Snouck Hurgronje dalam De
Acehers mengatakan, dabus dan rebana yang kerap dimainkan di wilayah
Sumatera ini sangat erat hubungannya dengan Tarekat Rifa’iyah.
Debus ini juga berkembang di Tanah Sunda,
sebagaimana diungkapkan oleh C. Poensen dalam bukunya, Het Daboes van
Santri Soenda. Di Sumatera Barat, kesenian dabus ini dikenal dengan
badabuih. Dalam Encyclopedia van Nederlandsch Oost India, disebutkan
bahwa perkembangan Tarekat Rifa’iyah ini bersama-sama dengan permainan
dabus.
Tiga ajaran dasar
Dalam beberapa cabang, pengikut Rifa’iyah
harus mengasingkan diri dan melakukan penyendirian spiritual (khalwat).
Praktik ini biasanya dilakukan paling sedikit selama satu pekan pada
awal Muharram.
Menurut Sayyid Mahmud Abul Al-Faidl
Al-Manufi,Tarekat Rifa’iyah mempunyai tiga ajaran dasar, yaitutidak
meminta sesuatu, tidak menolak, dan tidak menunggu.
Sementara itu, menurut Asy-Sya’rani,
tarekat ini menekankan pada ajaran asketisme (zuhud) dan makrifat
(puncak tertinggi dalam ajaran tasawuf).
Dalam pandangan Syaikh Ar-Rifa’i,
sebagaimana diriwayatkan Asy-Sya’rani, asketisme merupakan landasan
keadaan-keadaan yang diridhai dan tingkatan-tingkatan yang disunnahkan.
Asketisme adalah langkah pertama orang
menuju kepada Allah, mendapat ridha dari Allah, dan bertawakal kepada
Allah. “Barangsiapa belum menguasai landasan kezuhudan, langkah
selanjutnya belum lagi benar,” kata Syaikh Ar-Rifa’i.
Mengenai makrifat, Syaikh Ar-Rifa’i
berpendapat bahwa penyaksian adalah kehadiran dalam makna kedekatan
kepada Allah disertai ilmu yakin dan tersingkapnya hakikat
realitas-realitas secara benar-benar yakin. Menurutnya, cinta mengantar
rindu dendam, sedangkan makrifat menuju kefanaan ataupun ketiadaan diri.
Irhamni MA dalam tulisannya mengenai
Syaikh Ahmad Ar-Rifa’i mengungkapkan bahwa pendiri Tarekat Rifa’iyah ini
semasa hidupnya pernah mengubah sebuah puisi bertema Cinta Ilahi.
“Andaikan malam menjelang, begitu gairah
kalbuku mengingat-Mu. Bagai merpati terbelenggu atau meratap tanpa jemu.
Di atasku awan menghujani derita dan putus asa. Di bawahku lautan
menggelorai kecewa.
Tanyalah atau biarlah mereka bernyawa.
Bagaimana tawanan-Nya bebaskan tawanan lainnya. Sementara dia bisa
dipercaya tanpa-Nya. Dan dia tidak terbunuh, kematian itu istirah
baginya. Bahkan, dia tidak dapat maaf sampai bebas karenanya.”
Syair di atas merupakan salah satu bentuk
asketisme yang dilakukan Syaikh Ahmad Rifa’i dalam mencapai hakikat
tertinggi mengenal Allah, yakni makrifat.
SULUK TAREKAT MAWLAWIYAH
Suatu saat Mawlana Syaikh Jalaluddin
ar-Rumi tengah tenggelam dalam kemabukannya dalam tarian Sama’, ketika
itu seorang sahabatnya memainkan biola dan ney (seruling), beliau
mengatakan, “Seperti juga ketika shalat kita berbicara dengan Tuhan,
maka dalam keadaan ekstase (mabuk spiritual) para darwis juga berdialog
dengan Tuhannya melalui cinta. Musik Sama’ yang merupakan bagian
Shalawat atas Baginda Nabi Muhammad Saw adalah merupakan wujud musik
cinta demi cinta Nabi Saw dan pengetahuan-Nya.
Rumi mengatakan bahwa ada sebuah rahasia
tersembunyi dalam Musik dan Sama’, dimana musik merupakan gerbang menuju
keabadian dan Sama’ adalah seperti electron yang mengelilingi intinya
bertawaf menuju Sang Maha Pencipta. Semasa Rumi hidup, tarian “Sama”
sering dilakukan secara spontan disertai jamuan makanan dan minuman.
Rumi bersama teman darwisnya selepas shalat Isya’ sering melakukan
tarian sama’ di jalan-jalan kota Konya.
Terdapat beberapa puisi dalam Matsnawi
yang memuji Sama’ dan perasaan harmonis alami yang muncul dari tarian
suci ini. Dalam bab ketiga Matsnawi, Rumi menuliskan puisi tentang
kefanaan dalam Sama’, “Ketika gendang ditabuh seketika itu perasaan
ekstase merasuk bagai buih-buih yang meleleh dari debur ombak laut”.
Tarian Sama’ ini sebagai tiruan dari keteraturan alam raya yang diungkap
melalui perputaran planet-planet.
Perayaan Sama’ dari tarekat Mawlawiyah
dilakukan dalam situasi yang sangat sakral dan ditata dalam penataan
khusus pada abad ke-17. Perayaan ini untuk menghormati wafatnya Rumi,
suatu peristiwa yang Rumi dambakan dan ia lukiskan dalam istilah-istilah
yang menyenangkan. Para anggota Tarekat Mawlawiyah belajar menarikan
tarian ini dengan bimbingan Mursyidnya. Tarian ini dalam bentuknya
sekarang dimulai dengan seorang peniup suling yang memainkan Ney,
seruling kayu.
Para penari masuk mengenakan pakaian
putih sebagai simbol kain kafan, dan jubah hitam besar sebagai simbol
alam kubur dan topi panjang merah atau abu-abu yang menandakan batu
nisan. Seorang Syaikh masuk paling akhir dan menghormat para Darwis
lainnya. Mereka kemudian balas menghormati. Ketika Syaikh duduk dialas
karpet merah menyala yang menyimbolkan matahari senja merah tua yang
mengacu pada keindahan langit senja sewaktu Rumi wafat. Syaikh mulai
bershalawat untuk Rasulullah Saw yang ditulis oleh Rumi disertai iringan
musik, gendang, marawis dan seruling ney.
Peniup seruling dan penabuh gendang
memulai musiknya, maka para darwis memulai dengan tiga putaran secara
perlahan yang merupakaan simbolisasi bagi tiga tahapan yang membawa
manusia menemui Tuhannya. Pada putaran ketiga, Syaikh kembali duduk dan
para penari melepas jubah hitamnya dengan gerakan yang menyimbulkan
kuburan untuk mengalami “mati sebelum mati”, kelahiran kedua. Ketika
Syaikh mengijinkan para penari menari, mereka mulai dengan gerakan
perlahan memutar seperti putaran tawaf dan putaran planet-planet
mengelilingi matahari.
Ketika tarian hampir usai, maka Syaikh
berdiri dan alunan musik dipercepat. Proses ini diakhiri dengan musik
penutup dan pembacaan ayat suci Al Qur’an. Sekalipun beberapa gerakan
tarian ini pelan dan terasa lambat, tetapi orang-orang yang
menyaksikannya mengatakan penampilan ini sangat magis dan menawan.
Kedalaman konsentrasi, atau perasaan dzawq dan ketulusan para darwis
menjadikan gerakan mereka begitu menghipnotis. Pada akhir penampilan
para hadirin diminta untuk tidak bertepuk tangan karena Sama’ adalah
sebuah ritual spiritual bukan sebuah pertunjukan seni.
Pada abad ke-17, Tarekat Mawlawiyah
dikendalikan oleh kerajaan Utsmaniyah. Meskipun Tarekat Mawlawiyah
kehilangan sebagian besar kebebasannya ketika berada dibawah dominasi
Ustmaniyah, tetapi perlindungan Sang Raja memungkinkan Tarekat
Mawlawiyah menyebar luas ke berbagai daerah dan memperkenalkan kepada
banyak orang tentang tatanan musik dan tradisi puisi yang unik dan
indah. Pada Abad ke-18, Salim III – seorang Sultan Utsmaniyah – menjadi
anggota Tarekat Mawlawiyah dan kemudian dia menciptakan musik untuk
upacara-upacara Mawlawi.
Selama abad ke-19, Mawlawiyah merupakan
salah satu dari sekitar 19 aliran sufi di Turki dan sekitar 35 kelompok
semacam itu di kerajaan Utsmaniyah. Karena perlindungan dari raja
mereka, Mawlawi menjadi kelompok yang paling berpengaruh di seluruh
kerajaan, dan prestasi kultural mereka dianggap sangat murni. Kelompok
itu menjadi terkenal di barat., Di Eropa dan Amerika, pertunjukkan
keliling mereka menyita perhatian publik. Selama abad 19, sebuah
panggung pertunjukkan yang didirikan di Turki menarik perhatian banyak
kelompok wisatawan Eropa yang datang ke Turki.
Pada tahun 1925, Tarekat Mawlawiyah
dipaksa membubarkan diri di tanah kelahiran mereka Turki, setelah Kemal
Attaturk, pendiri modernisasi Turki melarang semua kelompok darwis
lengkap dengan upacara serta pertunjukkan mereka. Pada saat itu makam
Rumi di Konya di ambil alih pemerintah dan diubah menjadi museum Negara.
Motivasi utama Attatutrk adalah memutuskan hubungan Turki dengan masa
pertengahan guna mengintegrasikan Turki dengan dunia modern seperti
demokrasi ala barat. Bagi Attaturk, tarekat sufi menjadi ancaman bagi
modernisasi Turki.
Hingga saat ini makam Rumi di Konya tetap
terpelihara dan dikelola oleh pemerintah Turki sebagai tempat wisata.
Meskipun demikian pengunjung yang datang kesana yang terbanyak adalah
para peziarah dan bukan wisatawan. Pada tahun 1953 melalui sebuah
kesepakatan, pemerintah Turki akhirnya menyetujui tarian Sama’ Tarekat
Mawlawiyah dipertontonkan lagi di Konya dengan syarat pertunjukan
tersebut bersifat kultural untuk para wisatawan.
Rombongan darwis juga diijinkan untuk
berkelana secara internasional. Meskipun demikian secara keseluruhan
berbagai aspek sufisme tetap menjadi praktek yang ilegal di Turki dan
para sufi banyak diburu sejak Attaturk melarang agama mereka
SEMOGA BERMANFAAT